Ketua MK Arief Hidayat: Tidak Pernah DPR atau Partai Menitip-Nitip
Jelang Pilkada Serentak 2018

Ketua MK Arief Hidayat: Tidak Pernah DPR atau Partai Menitip-Nitip

Ketua MK Arief Hidayat pastikan MK netral. Untuk menjaga integritas, Arief mengaku sesama hakim MK sudah saling mengingatkan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Foto: RES

Tahun 2018 dan 2019 disebut-sebut sebagai tahun politik. Dalam dua tahun berturut-turut, Indonesia akan menggelar perhelatan akbar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak, Pemilu Presiden sekaligus Pemilu legislatif. Sedianya, Pilkada serentak 2018 akan digelar di 117 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

 

Tahapan Pilkada telah berjalan. Partai politik pun bongkar pasang koalisi untuk memantapkan dukungan. Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Tahun 2018, tanggal 12 dan 13 Februari 2018 adalah waktu penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut.

 

Sementara, waktu untuk kampanye pertemuan, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan debat publik antar pasangan calon, baru dapat dilakukan pada 15 Februari-23 Juni 2018. Untuk kampanye melalui media massa, cetak, dan elektronik, KPU memberikan waktu mulai tanggal 10 hingga 23 Juni 2018.

 

Tanggal 24-26 Juni 2018 ditetapkan KPU sebagai masa tenang hingga tiba hari pencoblosan pada 27 Juni 2018. Rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara untuk Pilkada kabupaten/kota akan dilakukan pada tanggal 4-6 Juli 2018, sedangkan Pilkada provinsi akan dilakukan tanggal 4-9 Juli 2018.

 

Dalam rangka menyukseskan pesta demokrasi tersebut, sejumlah lembaga seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah melakukan berbagai persiapan. Begitu pula dengan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berwenang memutus sengketa Pilkada.

 

MK bergegas melakukan pembenahan dan penyempurnaan sistem. Sebagaimana diketahui, citra MK sempat kembali tercoreng pasca tertangkapnya salah seorang hakim konstitusi, Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Patrialis divonis delapan tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti menerima suap.

 

Kasus lainnya yang menjadi sorotan adalah kasus pencurian dokumen permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai, Papua yang dilakukan oknum pegawai MK pada 2017 lalu. Atas pencurian itu, MK telah memecat empat pegawainya, yang salah satunya adalah Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat (Kasubag Humas MK) Rudi Harianto.

 

Selain kasus-kasus tersebut, tentu masyarakat masih mengingat skandal besar yang menimpa mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Terpidana penjara seumur hidup ini terbukti menerima suap terkait sejumlah perkara sengketa Pilkada dan melakukan pencucian uang. Kini, Akil tengah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin.

 

Baru-baru ini, Ketua MK Arief Hidayat juga menjadi sorotan. Arief didesak mundur dari kursi Ketua MK karena dianggap telah dua kali melakukan pelanggaran etik. Desakan mundur itu tidak hanya datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat, seperti PP Muhammadiyah, tetapi juga dari 54 Guru Besar dan pegawai MK.

 

Terlepas dari problematika yang mendera Ketua MK, lembaga pengawal konstitusi itu tengah mengevaluasi persiapan penanganan Pilkada serentak 2018. Bahkan, pertengahan Februari 2018, MK akan menggelar pertemuan dengan para penyelenggaran video conference (sarana penunjang penanganan sengketa Pilkada) yang berada di 43 perguruan tinggi di Indonesia.

 

MK berharap agar para peserta Pilkada konsisten menerapkan aturan Pilkada. Salah satunya mengenai syarat pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHUP) kepala daerah yang telah diatur dalam Pasal 157 dan 158 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

 

Pasal 158 UU Pilkada

(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 sampai dengan 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan

d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.

(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota.

 

MK menegaskan, kini lembaganya sangat ketat menerapkan aturan Pasal 158 UU Pilkada. Hal ini sudah dibuktikan dalam dalam penanganan sengketa Pilkada tahun 2017 lalu. Dimana, hanya 10 permohonan sengketa Pilkada yang dianggap memenuhi syarat, yang mana tiga diantaranya diperintahkan MK untuk melakukan pemungutan suara ulang.

 

Selain melakukan sejumlah persiapan, MK juga memastikan lembaganya selalu menjaga netralitas dalam penanganan sengketa Pilkada. Untuk mengetahui sejauh mana persiapan MK menjelang Pilkada serentak 2018, hukumonline mewawancarai Ketua MK Arief Hidayat beberapa waktu lalu. Berikut kutipan wawancaranya:

 

Bagaimana persiapan MK menjelang Pilkada serentak 2018?

Kami sudah menyiapkan perbaikan, aturan-aturannya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.5 Tahun 2017 (tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) dan PMK No.8 Tahun 2017 (Tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon, dan Keterangan Pihak Terkait Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota). Itu penyempurnaan PMK penangan Pilkada (sebelumnya).

 

Kemudian, kami sudah menyiapkan sumber dayanya dan melakukan perbaikan-perbaikan dari sisi dukungan sumber daya kepada penanganan perkara. Yang ketiga, kami mensosialisasikan PMK itu kepada seluruh stakeholder. Ini sudah tiga angkatan. Dua angkatan yang sebentar lagi memasuki tiga angkatan kepada para kuasa hukum, para anggota advokat, pengacara yang sering beracara di sini.

 

(Baca Juga: Ini Larangan dan Sanksi Bagi PNS yang Terlibat Politik Praktis)

 

Nanti kami mengundang KPU, Bawaslu dalam rapat sosialisasi PMK. Sosialisasi juga akan kami lakukan kepada partai politik dan para calon. Itu persiapan-persiapan yang dilakukan (MK). Pada pertengahan bulan ini (Februari), kami akan mengadakan pertemuan kepada para penyelenggara vicon (video conference) yang berada di 43 perguruan tinggi di Indonesia. Itu kami siapkan supaya vicon bisa mendukung penanganan persidangan perkara (sengketa Pilkada). Kami harapkan tidak perlu para pihak, artinya saksi-saksi didatangkan ke Jakarta. Cukup bisa keterangannya melalui vicon.

 

Jadi, itu dalam rangka peradilan yang murah dan cepat. Kalau harus memanggil ke Jakarta, biaya mahal. Makanya, kami membantu para konstentan untuk tidak perlu bersusah payah menghadirkan saksi dan ahli ke sini. Silakan melalui vicon yang ada di 43 perguruan tinggi. Kami nanti mau memanggil mereka untuk kami adakan rapat koordinasi.

 

Persiapan lainnya?

Kita berencana mengadakan koordinasi dengan Polri sebagai lembaga yang mendukung keamanan. Keamanannya baik secara fisik yang ada di gedung MK ini, maupun tempat-tempat vicon. Nanti, kalau di sana banyak saksi, massa juga berkumpul. Nah, nanti kami meminta kepada aparat kepolisian untuk juga ikut menjaga mengamankan tempat vicon-vicon itu. Sebab, bisa terjadi nanti di sana pertemuan antara para pendukung. Itu kan sangat rawan, harus kita antisipasi.

 

Kami harapkan semua komponen yang menangani sukses dan tidaknya Pilkada, seluruh stakeholder, mempunyai persepsi yang sama. Sukses atau tidaknya itu (bergantung) pertama pada penyelenggara itu harus netral. Artinya, KPU-nya harus netral, KPU itu artinya KPU nasional sampai KPU di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) ya. Bawaslu sampai ke pengawas lapangan di TPS juga harus netral. Kemudian, Polri, TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai lembaga yang menjaga keamanan dan ketertiban harus netral, Aparatur Sipil Negara (ASN)-nya, pegawai negeri sipil juga harus netral.

 

Bagaimana dengan konsistensi penerapan aturan-aturan Pilkada, seperti penetapan Pasal 157 dan 158 UU Pilkada?

Semua peraturan atau produk hukum yang mengatur Pilkada itu harus diterapkan secara konsisten. Kalau tidak konsisten, yang satu diperlakukan, ada diskriminasi perlakuan itu bisa menimbulkan persoalan. Setiap persoalan atau masalah yang timbul, itu diselesaikan melalui tahapan-tahapan yang sudah ditentukan oleh politik hukumnya UU Pilkada. Misalnya, kalau ada penyelenggara yang tidak netral, penyelenggara yang tidak firm, itu kan bisa dlaporkan di DKPP, penyelesaian di sana.

 

Terus, kalau ada money politic, itu diselesaikan melalui Sentra Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Kalau ada masalah sengketa mengenai pencalonan, itu diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau semuanya bisa diselesaikan di situ, maka sebetulnya MK bukan "keranjang sampah". Tidak setiap persoalan masuk ke MK.

 

MK dibatasi oleh UU. Kita ada Pasal 158 (UU Pilkada). Perkara perselisihan hasil yang signifikan menurut pasal 158 lah yang bisa menjadi perkara di sini.

 

Apa MK selama ini merasa menjadi "keranjang sampah"?

Sebelumnya. Kalau dua pilkada yang lalu sudah tidak. Tapi, itupun masih ada yang seperti seperti "keranjang sampah". Mereka masih menganggap begitu. Sebab, ada budaya begini, lebih baik dikalahkan MK dari pada kalah di lapangan. Itu kultur lho. Ada kultur yang begitu. Mereka (merasa) lebih terhormat kalau dikalahkan oleh MK.

 

Padahal, sebetulnya tidak begitu. Kalah di lapangan, mengakui secara gentle bahwa siap kalah dan siap menang itu harus mulai ditumbuhkan dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum.

 

Sejauh mana persiapan vicon di 43 perguruan tinggi?

Semuanya sudah tertata. Kami kemudian ngecek kesiapan masing-masing. Di pertengahan bulan Februari kami akan bertemu bertemu seluruh pengelola vikon yang dikoordinasikan oleh dekan masing-masing fakultas. Nanti akan bertemu di Jakarta untuk mengecek persoalan itu dan nanti tenaga lapangan kita juga akan mengecek satu-satu ke daerah-daerah itu.

 

Jadi, itulah yang kita sebut MK sebaga lembaga peradilan yang modern. Jadi, tidak harus selalu datang ke sini (Jakarta), tapi bisa dilakukan keterangannya di sana dan disumpah juga melalui vicon. (Keterangan dan sumpah melalui vicon) Absah, tidak ada masalah. Kan MK bisa menggunakan teknologi itu, tidak ada masalah. Selama ini juga sudah kita terapkan. Ini ciri peradilan modern.

 

Jadi MK mau beranjak menjadi peradilan modern?

Sudah kami lakukan. Sejak awal kita memang menjadikan ini (MK) lembaga peradilan yang modern, yang salah satunya sesuai dengan azas peradilan harus cepat dan murah. Maka itu, cukup bisa begitu tuh sudah murah. Dari pada nanti misalnya ada saksi 20, didatangkan dari Papua, kan mahal sekali. Tapi, kebanyak saksi-saksi itu mau bersaksi kalau di gedung sini, sambil piknik lihat Monas.

 

Tapi, sebetulnya kita harus memberikan pengertian pada mereka bahwa melalui vikon saja tidak ada masalah. Itu sudah legal dan sah, tidak (perlu) bersusah payah (datang ke MK), sehingga nanti kalau (peserta Pilkada) menang, yang menang juga tidak mengeluarkan uang banyak. Kalau tidak mengeluarkan uang uang banyak, otomatis dia tidak korup nanti kalau jadi pemimpin yang baik.

 

(Baca Juga: Catatan untuk MK di Tahun Politik)

 

Dari pada kalau di sini, saksinya 10 didatangkan dari Papua sana, berapa (uang) harus dihabiskan? Tidur di hotel sini berapa hari? Mahal sekali. Nah, jadi sistem yang kita bangun adalah sistem dalam rangka mendukung peradilan yang cepat sederhana dan murah. Salah satunya pakai vicon karena vicon juga memerlukan biaya, dan DPR sudah menyetujui, pemerintah juga sudah menyetujui untuk menyelenggarakan vicon. Anggarannya kan sudah disediakan DPR dan pemerintah. Sekarang sudah ada 43 (perguruan tinggi yang menyelenggarakan vicon).

 

MK sendiri menjamin akan netral?

MK selama ini netral, tidak ada masalah, tidak diragukan lagi. Saya selalu berpesan kepada seluruh sistem yang dibangun di MK itu harus netral, tidak memihak. Dan, kita bisa lihat, misalnya sudah kita lakukan perbaikan-perbaikan. Pada masa yang lalu itu kan ada pencurian dokumen katanya. Tapi, sebetulnya dokumen itu hilang juga tidak bermasalah. Kenapa? Yang diperiksa kan perbaikan permohonannya. Perbaikannya tidak hilang.

 

Tapi, itu menunjukan bahwa ada orang luar yang berkepentingan dan ada orang dalam yang tidak disiplin, sehingga saya waktu itu bilang, segera dipecat anak ini. Dipecat, laporakan polisi! Orang itu kan juga dipidana, sudah diproses (hukum).

 

Sistem seperti apa yang diperbaiki MK agar kasus pencurian seperti tahun 2017 lalu tidak terulang?

(Belajar dari pengalaman) Kita harus membangun sistem. Sebetulnya dia mencuri itu sudah ketahuan kerena lingkungan di sini, semuanya ada CCTV (closed-circuit television) nya, sehingga orang yang mengambil dokumen pun sudah dapat segera diketahui itu siapa.

 

(Baca juga: Jangka Waktu Penyelesaian Pilkada 45 Hari Kerja)

 

Kemudian, sekarang sistem kita sudah memperbaiki. Begitu ada permohonan, sekerang sudah kita upload  (unggah). Sudah diupload, menjadi milik publik kan? Untuk apa dicuri lagi? Tidak da ada kepentingannya. Itu sudah kita perbaiki langsung. Begitu ada pencurian, kami putuskan bersama, langsung di-upload. Untuk apa tidak di-upload? Ini punya publik memang.

 

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengunggah dokumen tersebut?

Upload-nya bisa langsung jam. Begitu itu (permohonan) masuk, kan mereka selain bukti fisik permohonan, harus melampirkan softcopy-nya kan. Softcopy inilah langsung begitu dikasih nomor, BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) lengkap, langsung di-upload, sehingga sudah langsung menjadi milik publik. Jadi, tidak mugkin itu dicuri lagi. Untuk apa mencuri itu kan?

 

Mengenai penanganan perkara di MK, kita masih ingat kasus Patrialis dan Akil Mochtar. Bagaimana cara MK menjaga integritas para hakim MK?

Nah, itu tergantung pada masing-masing hakim. Sekarang kita setelah ada kasus-kasus yang terakhir menyangkut masalah hakim, kita itu mencoba untuk saling mengingatkan. Jadi, memang Ketua (MK) tidak bisa memerintahkan (para hakim MK). Itu kan tergantung pada hakim. Hakim itu kan mempunyai kedudukan yang sejajar, kolektif kolegial. Posisi ketua dan wakil ketua itu kan hanya (garis) koordinatif, sehingga sekarang kita sepakat untuk saling mengingatkan harus selalu berhati-hati.

 

Apa MK juga membuat sistem pengawasan untuk hakim?

Sistemnya, bagaimana sistemnya? Tapi, kan sebetulnya kita ada dewan etik yang menjaga kita, ya kan? Ternyata dewan etik juga efektif, ketua saja diperingatkan, coba, meskipun begitu.

 

Apa menjelang Pilkada ini ada partai politik yang "menitip-nitip" sesuatu kepada bapak?

Tidak ada. Saya selama ini, meskipun saya (menjadi hakim MK) dari (jalur) DPR, ada dua orang (hakim MK) lagi yang dari DPR, tidak pernah DPR atau partai "menitip-nitip", tidak pernah. Itu saya berterima kasih pada teman-teman partai, pada teman-teman di DPR, bahwa mereka sudah tau posisi kita masing-masing.

 

Pesan MK jelang Pilkada serentak 2018?

Saya mau menyampaikan bahwa selama ini saya berterima kasih kepada semua pihak, terutama para calon. Begitu kita putus, mereka akan menerima putusan MK. Kemudian, saya mengapresiasi KPU dan seluruh jajarannya, serta Bawaslu, bahwa pada Pilkada serentak 2015, 2016 ini sudah menunjukan suatu perbaikan yang luar biasa. Karena apa? Karena data dokumen perhitungan suara semuanya terdokumentasikan dengan baik, sehingga pada waktu persoalan itu diajukan ke MK, MK mendapatkan data yang valid dan akurat.

 

Saya juga berterima kasih kepada DKPP. DKPP yang mampu menjaga netralitas, Bawaslu menjaga netralitas, sehingga semakin ke sini penyelenggaran Pilkada semakin berkualitas. Sebab, sekarang kalau kita bertanya, misalnya ada nggak datang mengenai ini? Dokumen ini ada nggak? KPU selalu sudah siap.

 

(Berbeda) Waktu misalnya Pileg (Pemilu Legislatif) 2014 dulu, saya kan sudah ikut (menjadi hakim MK). Wah itu msh sangat... tapi sekarang sudah sangat bagus, sejak KPU periodenya Pak (Husni) Kamil Manik, itu sudah menunjukan yang luar biasa. Ada perbaikan-perbaikan dan sekarang sudah lebih baik. Kami harapkan itu ditingkatkan, sehingga memudahkan kami.

 

Kemudian, juga kepada kepolisian saya mempunyai harapan bahwa kerawanan itu ternyata kerawanannya sejak di tingkat pencoblosan sampai ke rekapitulasi di kabupaten/kota atau provinsi. (Ada) Kasus-kasus tidak bisa selesai menghitung suaranya karena kotak suaranya hilang. Ada kotak kotak suara yang dirampok, hilang, sehingga tidak bisa dihitung secara lengkap.

 

Oleh karena itu, pengamanannya sejak di TPS, pengamanan untuk saksi, pengamanan untuk pemilih, pengamanan untuk penyelenggara itu mesti dilakukan sampai pengamanan pada kotak dan dokumen-dokumen itu perlu diperhatikan.  

 

Tags:

Berita Terkait