Ketua MK: Tidak Patuhi Putusan, Bentuk Pembangkangan terhadap Konstitusi
Utama

Ketua MK: Tidak Patuhi Putusan, Bentuk Pembangkangan terhadap Konstitusi

Ada tiga kategori tingkat kepatuhan terhadap putusan MK yakni dipatuhi seluruhnya, dipatuhi sebagian, dan tidak dipatuhi. Tapi, tingkat kepatuhan masih lebih tinggi daripada ketidakpatuhan dengan perbandingan 54,12 persen berbanding 22,01 persen dari 109 putusan MK yang diteliti.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Temuan SETARA Institute, ada 19 Putusan MK periode 2015-2016 ini yang mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah atau DPR. Sebagian dari putusan tersebut memang telah ada yang dijalankan dan ditindaklanjuti, tetapi masih jauh dari harapan. Bukti ketidakpatuhan itu diantaranya, masih berlakunya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Padahal, MK melalui Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. Faktanya, Keputusan Menteri tersebut masih berlaku. (Baca JugaPenting!!! Peralihan Pekerja Lewat Penetapan Pengadilan)

 

Bukti ketidakpatuhan lain, masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor. Padahal, MK lewat Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. (Baca Juga: Bermodal Putusan MK, Pengusaha Alat Berat Tolak Pajak Kendaraan Bermotor)

 

Public trust

Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah pernah mengatakan selama ini setiap putusan MK cukup dipatuhi semua pemangku kepentingan. Hanya saja, ada beberapa putusan yang terkadang tidak dipatuhi oleh sebagian kecil pemangku kepentingan. “Secara umum sebetulnya putusan MK sudah dipatuhi lembaga terkait. Kalau ada satu atau dua putusan yang tidak dilaksanakan, saya kira ini tantangan tersendiri ke depannya,” kata Guntur.

 

Dia beralasan tidak dilaksanakan putusan MK ini bisa dimaklumi karena MK tidak memiliki lembaga eskekutor yang bisa mengawasi pelaksanaan putusan MK. Meski begitu, kata dia, tidak adanya lembaga eksekutor dalam pelaksanaan putusan MK bukanlah persoalan krusial. Sebab, apabila hal ini dijadikan alasan utama justru akan semakin membuat lembaga negara atau masyarakat tidak patuh terhadap putusan MK.

 

“Toh, tanpa lembaga eksekutor pun setiap putusan MK umumnya ditaati/dipatuhi. Soalnya, kepatuhan atas putusan MK diserahkan pada respect semua elemen masyarakat. Semakin respect, dengan sendirinya (otomatis) putusan MK semakin dipatuhi,” jelasnya.

 

Menurutnya, praktik kepatuhan putusan MK di negara-negara lain pun sama yakni efektivitas pelaksanaan putusan MK diserahkan pada public trust. Selama ini pelaksanaan putusan MK biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti materi perubahan Undang-Undang dan jenis peraturan lain. Atau bahkan bentuk tindakan yang sifatnya segera dan ditindaklanjuti lembaga terkait.

Tags:

Berita Terkait