Ketua Mahkamah Agung (MA) H. Muhammad Syarifuddin baru saja menjalani prosesi pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Bidang Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip), Semarang. Pengukuhan itu berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 6462/MPK/KP/2021 Tanggal 29 Januari 2021. Acara ini digelar di Kampus Universitas Diponegoro secara daring dan luring yang dihadiri sejumlah pejabat negara, warga peradilan, dan para undangan lainnya.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana ini, Prof. H.M. Syarifuddin mengangkat topik berjudul “Pembaruan Sistem Pemidanaan dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heuristika Hukum”. M. Syarifuddin mengatakan heuristika dalam hukum merupakan seni yang menjadi perangkat kerja, khususnya bagi Hakim dalam mengatasi masalah hukum yang memberi rasa keadilan atas dasar nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan.
“Heuristika hukum juga cara pandang terhadap hukum yang mengedepankan kreativitas dan seni. Karena hukum adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving),” ujar M. Syarifuddin dalam orasi ilmiahnya di hadapan Senat Guru Besar Universitas Diponegoro dan para tamu undangan, Kamis (11/2/2021).
Dia menerangkan Hakim memegang peranan penting menyelaraskan hukum dan keadilan berupa menafsirkan aturan; membentuk kaidah baru dalam sebuah norma; mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam mengadili dan memutus perkara. Menjatuhkan pidana merupakan kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif hakim untuk menegakan hukum dan keadilan.
“Penegakan hukum harus dapat menarasikan keadilan secara paripurna. Di dalamnya tercakup rasionalisasi, kesinambungan kerangka pikir, dan kehendak mewujudkan keadilan substantif,” ujar Syarifuddin. (Baca Juga: Mengenal M. Syarifuddin, Sang Ketua MA ke-14)
Berdasarkan perngalaman 36 tahun menjadi Hakim, dia menyimpulkan persoalan mendasar penegakan hukum itu terletak pada dua hal. Pertama, keadilan substantif, yang salah satunya rentang pemidanaan yang sangat lebar (disparitas pemidanaan) pada perkara-perkara yang memiliki permasalahan hukum yang sama. Kedua, keadilan prosedural, yaitu adanya hambatan memperoleh akses keadilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan.
“Tidak dapat dipungkiri disparitas menimbulkan ketidakadilan, sehingga harus ada mekanisme yang dapat meminimalisir tingkat disparitas tanpa harus menggerus kemandirian hakim,” ujarnya.