Ketua MA, Dari Kusumah Atmadja Hingga Harifin A. Tumpa
Berita

Ketua MA, Dari Kusumah Atmadja Hingga Harifin A. Tumpa

Mulai dari intervensi eksekutif sampai keterlibatan lembaga donor internasional.

IHW/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Era Orde Baru

Soerjadi adalah Ketua MA berikutnya setelah Wirjono. Masa jabatannya hanya dua tahun, yaitu sejak Juni 1966 sampai Agustus 1968. Soerjadi harus menerima kenyataan beberapa hakim yang berencana terjun ke dunia politik. Beberapa hakim akan berkiprah sebagai anggota Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia pun mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1967 tentang Hakim yang akan duduk dalam suatu DOR atau (Dewan) Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

 

Dalam SEMA itu, Soerjadi memberi pilihan kepada hakim-hakim tersebut untuk tetap menjadi hakim atau berkiprah jalur politik. Istilah yang digunakan dalam SEMA itu adalah menerima pengangkatan 'menjalankan kewajiban negara'. Bila hakim tersebut memilih opsi ini, maka ia harus melewati Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan MA, lalu mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk diberhentikan dari pekerjaannya selama 'menjalankan kewajiban negara' itu.

 

Di era ini, Soerjadi juga harus menghadapi fakta kedudukan para hakim atau Ketua Pengadilan yang menjadi penasehat hukum Panca Tunggal, tim penasihat Presiden Soekarno. Dalam SEMA yang dikeluarkannya, ia menyatakan hakim-hakim itu tak perlu mundur dari jabatannya sebagai hakim. Mereka hanya diinstruksikan tidak surut serta memecahkan masalah dalam Panca Tunggal dan/atau memberikan nasehat hukum mengenai sesuatu masalah yang dapat diperkirakan akan menjadi perkara di muka pengadilan.

 

Pada 1966, Soerjadi mengeluarkan SEMA yang mengharuskan hakim menggunakan toga dalam persidangan. SEMA ini merupakan aspirasi dari para hakim yang merasa toga merupakan salah satu alat yang bisa menambah suasana khidmat dalam sidang-sidang pengadilan. Di luar sidang, hakim tetap mengenakan pakaian seragam yang kala itu ditetapkan oleh Panitia Perencanaan Pemakaian Seragam yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman.

 

Soerjadi, kata Pompe, adalah orang yang tegas dalam memegang dan menjalankan prinsip. Sesuai hasil wawancara Pompe dengan majalah Gatra, Soerjadi kabarnya paling anti MA dimasuki golongan tertentu yaitu ABRI dan orang non hakim.

 

Tongkat kepemimpinan MA selanjutnya beralih ke tangan Soebekti. Bustanul Arifin,  mantan hakim agung kepada VHR mengatakan periode kepemimpinan (Agustus 1968-Januari 1974) adalah periode keemasan MA. Saat itu, kata Bustanul, tak ada para pihak berperkara yang mendatangi gedung MA. Hal ini karena pada saat itu tak ada perkara yang menunggak di MA. Perkara di MA paling lama tiga minggu, kata Bustanul. Pompe juga memuji habis pria yang menjadi Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) selepas pensiun dari hakim agung, pada 1977. Soebekti, kata Pompe, adalah Ketua MA yang paling lurus dan jujur.

 

Pada masa Soebekti, lahir UU No 14 Tahun 1970 sebagai pengganti UU No 19 Tahun 1964. UU 14/1970 adalah upaya untuk meluruskan kembali kekuasaan kehakiman dari campur tangan pemerintah. Hal itu ditegaskan dalam bagian konsideran dan penjelasan umum UU 14/1970.

Tags: