Ketua MA: Akademisi dan Hakim Harus Berkolaborasi Perbaharui Hukum Perdata
Utama

Ketua MA: Akademisi dan Hakim Harus Berkolaborasi Perbaharui Hukum Perdata

Hakim menemukan hukum melalui putusannya, akademisi menganalisa dan mengkritik putusan itu.

Tri Yuanita Indriani
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali (Keempat dari Kanan) usai memberi sambutan Konferensi Hukum Perdata II di FH Universitas Udayana, Bali, Kamis (16/4). Foto: RIA.
Ketua MA M Hatta Ali (Keempat dari Kanan) usai memberi sambutan Konferensi Hukum Perdata II di FH Universitas Udayana, Bali, Kamis (16/4). Foto: RIA.

Ketua Mahkamah Agung (MA) M Hatta Ali mengingatkan pentingnya kolaborasi antara akademisi dengan lembaga peradilan untuk memperbaharui hukum perdata Indonesia. Hal itu diutarakan Hatta ketika memberi sambutan dalam Konferensi Nasional Hukum Perdata II di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Kamis (16/4).

Hatta mengatakan perangkat hukum perdata yang digunakan Indonesia saat ini masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda.

“Kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kerangka hukum yang berlaku di Indonesia atas dasar asas konkordansi. Hingga saat ini KUHPerdata masih berlaku karena pengaturan peralihan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUD 1945,” jelasnya.

Hingga detik ini, pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) belum terwujud. Padahal, lanjut Hatta, sudah sejak lima dekade lalu Prof. Soebekti dan Tjipto Sudibyo dalam pengantar terjemahan Burgelijk Wetboek (BW) sudah menuliskan bahwa penyempurnaan BW ini menjadi pekerjaan rumah besar penerus bangsa. Pasalnya, sebagai kitab peralihan, kita harus menerima cacat dan kelemahannya.

“Sebagai pengingat terhadap hakikat KUHPer itu sendiri. Ini merupakan PR (pekerjaan rumah,-red) besar yang dihadapi bangsa untuk menyempurnakan sendiri kerangka yang sesuai kebutuhan bangsa,” ujarnya dalam konferensi yang bertajuk ‘Karakteristik Hukum Perikatan Indonesia Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional’.

Lebih lanjut, Hatta menuturkan pada 14 Agustus 1963, Ketua MA Wirjono Prodjodikoro menerbitkan Surat Edaran MA No.3 Tahun 1963. Dalam konsideran SEMA itu, ada gagasan bahwa BW tidak ditempatkan sebagai UU, tetapi sebagai suatu dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis.

Oleh karena itu, Hatta menilai upaya pembaharuan hukum perdata itu merupakan sebuah keniscayaan. Pria yang meraih gelar profesor di bidang hukum dari Universitas Airlangga Surabaya ini menyatakan kolaborasi antara akademisi dan badan peradilan sangat penting mempercepat pembentukan hukum perdata baru.

“Ini merupakan kesempatan untuk membangun dialog berkelanjutan antara akademisi dan pengadilan sebagai katalis pembaruan hukum (perdata,-red) nasional,” ujar Hatta dalam konferensi yang dihadiri oleh seratus pengajar hukum perdata dari seluruh Indonesia itu.

Hatta menyatakan hakim dapat menemukan dan menciptakan hukum ketika undang-undang sudah dirasa tidak sesuai dengan apa yang hidup di dalam masyarakat. “Pasal 5 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kami kewenangan untuk itu, meskipun terbatas,” imbuhnya.

Sedangkan akademisi, lanjut Hatta, bisa memberi masukan dan kritik terhadap putusan-putusan hakim itu. “Para akademisi yang memegang peran penting dalam pembentukan hukum melalui telaah dan analisis terhadap putusan pengadilan, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentuk doktrin hukum,” sampai Hatta.

“Ini juga mendorong hakim dan pengadilan untuk terus memperbaiki kualitas putusannya karena diawasi, diperdebatkan, dan dikritisi secara mendalam,” tambahnya.

Hatta juga memaparkan bahwa pembaharuan hukum yang berkualitas memerlukan konsistensi. Sebagai bentuk konsistensi itu, lanjutnya, MA telah membagi hakim agung ke dalam kamar-kamar sesuai dengan latar belakang pengetahuannya. Hal ini guna meningkatkan kualitas putusan dan memantau konsistensi putusan.

Selain itu, MA juga sudah membuat kebijakan berupa keterbukaan informasi. Jutaan putusan sudah dipublikasikan dalam website MA. Pada poin ini lah akademisi diharapkan dapat mengakses putusan-putusan tersebut untuk digunakan sebagai bahan penelitian dan perdebatan-perdebatan hukum.

Mengisi Kekosongan Hukum
Sebagai penutup, Hatta menyampaikan harapannya agar konferensi ilmiah keperdataan ini dapat mengisi kekosongan hukum, terutama bagian dari BW yang sudah tidak tepat lagi untuk digunakan. “Apalagi dinamika di bidang ekonomi itu sangat cepat,” imbuhnya.

Ia juga meminta agar pengajar perdata diminta jangan mau ketinggalan dan harus melakukan antisipasi untuk dinamika ini. “Sehingga dinamika masyarakat bisa diikuti dengan dinamika hukum, terutama dalam bidang hukum perdata,” ucap Hatta.

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan Prof. Y. Sogar Simamora menyambut harapan Ketua MA ini. Ia menuturkan semangat yang dibawa dari hasil Konferensi Nasional Hukum Keperdataan II ini juga adalah agar proceeding itu bisa menjadi bibit dari undang-undang mengenai perikatan.

“Pertemuan ini menampung pemikiran pengajar yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan dalam rangka untuk membangun hukum perikatan nasional Indonesia,” pungkas Prof. Sogar.

Tags:

Berita Terkait