Ketua KY Jaja Ahmad Jayus: “Pengaduan Masyarakat Seperti Gelombang”
Wawancara

Ketua KY Jaja Ahmad Jayus: “Pengaduan Masyarakat Seperti Gelombang”

Membuka akses terhadap informasi hukum, seperti yang dilakukan hukumonline, sangat membantu masyarakat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus. Ilustrasi: HGW
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus. Ilustrasi: HGW

Ini periode kedua Jaja Ahmad Jayus menjadi komisioner Komisi Yudisial. Pada periode 2015-2020 ini, Jaja menjadi orang nomor satu di Komisi yang bertugas mengusulkan pengangkatan hakim agung itu. Pria kelahiran Kuningan, 6 April 1965, ini harus menjalankan tugas lain, mengawasi para hakim. Pada tahun politik seperti sekarang, misalnya, ia memimpin pengawasan terhadap hakim-hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menangani kasus pemilu.

 

Berlatar belakang akademisi, Jaja Ahmad Jayus juga mendapat amanah untuk membawa Komisi Yudisial menjadi lembaga negara yang mendorong masyarakat ikut mengawasi penyimpangan di dunia peradilan. Komisi Yudisial tak mungkin berjalan sendirian menjalankan tupoksi tanpa melibatkan para pemangku kepentingan. Bagaimanapun, masyarakat perlu merasa nyaman ketika mengadukan dugaan penyimpangan di dunia peradilan.

 

Dalam konteks itulah hukumonline mewawancarai ayah tiga anak itu di ruangannya di Komisi Yudisial. Ditemani segelas teh hangat, wawancara berlangsung dalam suasana akrab. Beberapa bagian dari perbincangan bersifat off the record, tetapi secara umum, Jaja mengutarakan pandangannya meningkatkan akses masyarakat terhadap pengawasan peradilan, termasuk melalui pengaduan ke Komisi Yudisial.

 

Ia juga memberikan pandangan tentang peran hukumonline dalam membuka akses masyarakat terhadap informasi hukum. Berikut petikannya:

 

Apa program KY untuk membuka akses warga terhadap peradilan?

Sesuai amanat UUD 1945 dan UU Komisi Yudisial, KY melakukan seleksi hakim agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung untuk mendapat persetujuan dari DPR. Kemudian menjaga, menegakkan keluhuran dan kehormatan dan martabat hakim. Dari dua fungsi itu tentunya partisipasi masyarakat terhadap peradilan sangat penting ketika melakukan proses seleksi.

 

Mengapa? Untuk mendapatkan data, input dan masukan-masukan dari masyarakat untuk menghasilkan hakim agung yang potensial, baik dari sisi profesionalisme, dari sisi integritas, maupun dari sisi kapasitas. Diharapkan ini memiliki level yang sangat tinggi. Artinya, integritasnya baik, mumpuni teoritikal dan praktikalnya juga paham betul sehingga para pencari keadilan betul-betul mengharapkan peradilan yang dicita-citakan.

 

Lalu, KY juga diberi kewenangan menjaga dan menegakkan keluhuran dan martabat dan perilaku hakim. Di sini tentunya, KY dalam kerangka mendorong peradilan yang bersih, katakan seperti visi MA menjadi peradilan yang agung, di dalam keagungan itu ada profesionalisme, ditunjang integritas, sehingga putusannya akuntabel, bisa dipertanggungjawabkan dan akhirnya peradilannya agung dan bersih. Karena itu kita punya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang akan menjaga dan menegakkan itu. Seandainya ada hakim yang melakukan pelanggaran terhadap KEPPH, kode etik kita tegakkan, kemudian kalau ada hakim dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu ada gangguan dari masyarakat, maka kita ikut menjaganya.

 

Ada beberapa langkah dan tindakan yang dilakukan KY sesuai dengan amanat UU antara lain melakukan advokasi. Agar masyarakat bisa mengakses peran KY agar punya peran yang baik dalam kerangka mewujudkan peradilan yang bersih itu, maka sesuai rumusan undang-undang KY membuka kantor penghubung di daerah. Itu dalam rangka membuka akses masyarakat terhadap keadilan melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Masyarakat bisa ikut merasakan pengawasan bahwa beracara di pengadilan itu sudah clear, akuntabel dan sebagainya.

 

Artinya, Kantor Penghubung itu menjembatani KY dengan masyarakat?

Ya, karena KY hanya ada di Jakarta, dan kita tidak punya perwakilan di daerah, beda dengan lembaga lain seperti Ombudsman yang punya Ombudsman daerah atau pengadilan yang ada di daerah. Memang sih sekarang sudah zaman teknologi, orang bisa langsung melapor ke Komisi Yudisial, tetapi faktanya tidak semua orang melek teknologi. Penghubung itu menjembatani keperluan masyarakat yang belum melek teknologi atau ingin melapor di daerahnya.

 

(Hingga kini Komisi Yudisial mempunyai Kantor Penghubung di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku).

 

Lantas apa yang dilakukan KY baik langsung maupun melalui kantor penghubung agar masyarakat semakin paham dan berpartisipasi dalam pengawasan peradilan?

Tentu ada langkah-langkah yang dilakukan Komisi Yudisial, dan tentunya semua pemangku kepentingan peradilan mendukung langkah-langkah yang dilakukan KY dalam rangka membuka akses masyarakat terhadap dunia peradilan. Misalnya, KY sering melakukan sosialisasi kepada stakeholder peradilan termasuk teman-teman partner KY seperti NGO dan organisasi kemasyarakatan, baik keagamaan maupun budaya, yang punya potensi bersinggungan dengan dunia peradilan. Kemudian, dengan kalangan perguruan tinggi. Kita sosialisasikan fungsi dan peranan KY. Betapa pentingnya peran KY itu terutama dalam penegakan etik, karena kata kuncinya sebenarnya dalam kehidupan apapun adalah etik. Etika itu berkaitan dengan akhlak. Kita adakan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan, lalu pemantauan bersama dengan kalangan perguruan tinggi dan masyarakat sipil. Itu sering kita lakukan.

 

Hukumonline.com

Ketua KY Jaja Ahmad Jayus. Foto: HOL/FEB

 

Apakah tingkat partisipasi masyarakat mengawasi peradilan yang disampaikan ke KY naik signifikan?

Kalau dilihat datanya, seperti gelombang, kadang naik kadang turun. Naik atau turunnya tidak jauh. Misalnya, pada 2016 pengaduan naik, tahun 2017 turun, lalu naik lagi di 2018. Sepanjang Januari-April 2019, laporan yang langsung ke kita 528. Jadi, belum genap satu semester kita sudah terima sebanyak itu laporan. Itu laporan baik langsung, online maupun surat. Itu belum termasuk 325 tembusan. Kalau tahun lalu sekitar 750-an laporan, ditambah 700-an tembusan, totalnya sekitar 1700, jadi kemungkinan jumlahnya diprediksi hampir sama. Sampai April saja sudah 853 laporan. Varian laporannya ada. Ada yang mudah ditindaklanjuti, ada yang kompleks masalahnya karena kasus besar dan pihaknya banyak. Atau kadang saksi yang dipanggil tidak bisa datang pada waktunya, hakim yang akan diperiksa juga sudah pindah dan sebagainya.

 

Jadi, tidak mudah mengungkap kasus?

Ya, apalagi menyangkut uang dan perselingkuhan. Kita harus investigasi dulu. Jadi harus dipastikan data dan hasil pemeriksaan kita akurat.

 

Apa tantangan KY ke depan untuk mengawasi peradilan?

Pertama, kita punya penghubung dengan jumlah terbatas. Jejaring perguruan tinggi juga punya waktu yang sangat terbatas. Kita sebenarnya berharap perguruan tinggi punya partisipasi aktif, tanpa harus MoU dengan kita tanpa ada perintah dari kita seharusnya ada inisiatif baik melalui pengabdian masyarakat maupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengabdian dari mahasiswa, baik yang intrakurikuler maupun yang ekstrakurikuler, itu bisa membantu peran-peran KY. Begitu juga dengan NGO berperan aktif tanpa harus diminta. Kita dengan keterbatasan penghubung kalau anggaran memungkinkan perlu menambah jumlah penghubung untuk memperluas akses masyarakat untuk melaporkan hasil pengawasan peradilan.

 

Masih berkaitan, adakah daerah yang oleh KY diawasi betul sementara daerah lain pengawasannya kurang?

Selama ini, enam besar laporan yang masuk ke KY didominasi oleh provinsi yang jumlah penduduknya besar, dan cenderung sudah bergeser ke kota metropolitan, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, yang melakukan pengawasan juga banyak karena perguruan tingginya banyak, NGO-nya juga aktif. Laporan dari daerah2 ini sangat mudah sampai ke Komisi Yudisial. Tetapi daerah yang sangat jauh dari hiruk pikuk ibukota, ke daerah-daerah yang jauh, terus terang pengawasan kita memang minim. Apakah ini karena keterbatasan akses atau karena peradilannya sudah berjalan bagus. Tapi karena ada kasus yang menarik perhatian publik, seperti di Timika, itu tetap kita evaluasi.

 

Apakah riset putusan pengadilan masih berlangsung?

Memang jumlahnya tidak sebanyak ketika periode 2010-2015, tapi masih ada. Cuma kita lebih melihat karakterisasi putusan baik di tingkat pertama dan banding, maupun dan terutama di tingkat MA. Kita berharap putusan yang karakterisasinya bagus kita kumpulkan nanti dan dipublikasikan karena itu bagus bagi hakim dalam mengadili suatu perkara yang sama. Kalau dulu memang kita melibatkan kalangan perguruan tinggi. Bahkan PT-nya juga melakukan tender, diseleksi, buat proposal, seleksi proposal kemudian diminta membuat analisis putusan di daerahnya masing-masing, putusan dari pertama, kasasi, dan PK. Hasilnya dipresentasikan, dan menjadi pedoman buat kita saat melakukan seleksi calon hakim agung. Termasuk menjadikannya sebagai bahan pertanyaan kepada calon hakim agung. Kadang ada putusan yang lemah dalam interpretasi dasar-dasar hukum yang memadai. Ini efektif, mendorong hakim mempersiapkan banyak hal sebelum mengikuti seleksi di KY.

 

Apakah saat melihat karakterisasi putusan juga menyaring putusan yang masuk kategori landmark?

Tentu saja, putusan yang bagus itu yang bisa diikuti oleh hakim. Yang kita karakterisasi adalah putusan yang benchmark, diikuti oleh hakim-hakim dan putusan yang analisisnya betul-betul clear. Tidak menimbulkan multiinterpretasi, dan bagus dari sisi integritas hakimnya. Profesionalisme juga dilihat. Ini yang kita seleksi dalam putusan. Unsur profesionalismenya ada, unsur integritasnya terpenuhi.

 

Sejauh ini KY sudah melakukan kajian terhadap 1197 putusan, termasuk putusan hakim-hakim hasil seleksi KY. Kita ingin melihat apakah hakim yang diseleksi KY putusannya baik atau tidak. Dulu kita melihatnya dari beberapa indikator seperti kualitas putusan dan integritas. Itu yang kita lihat. Ada putusan disparitas. Bahkan ada yang gap dan tidak konsisten. Oleh karena itu dalam beberapa pelatihan kita menyampaikan hasil-hasil penelitian itu.

 

Baca:

 

Artinya, hasil analisis KY disampaikan juga ke MA?

Dalam pertemuan-pertemuan informal juga disampaikan, ketika kita konsultasi juga disampaikan. Ke depan mungkin kita sampaikan ke MA. Bahkan yang sifatnya pencegahan seperti deteksi dini, sebagai bahan bagi MA melakukan perbaikan.

 

Bagaimana Anda sebagai akademisi melihat hakim melakukan interpretasi terhadap teks-teks hukum?

Yang sering saya lihat penafsiran itu menggunakan logika contralegem. Sering dilakukan hakim-hakim PA. Misalnya ketika memutuskan kasus pembagian harta, hakim sudah sering melakukan contra legem. Referensinya juga cukup memadai. Suatu perkembangan yang cukup lumayan. Cuma kadang, dari hasil penelitian perguruan tinggi ternyata pertimbangannya minim interpretasi atau kontruksi hukum. Sehingga hakim kita masih sering jadi corong undang-undang. Tetapi daripada menyimpang dari ketentuan undang-undang lebih baik menjadi corong UU apalagi kalau sudah menyangkut persoalan integritas.

 

Kalau saya mengadakan pelatihan, saya selalu berpesan agar hakim menggunakan penafsiran yang baik dan benar. Jangan mentang-mentang berlindung di balik interpretasi dan kontruksi hasil putusannya jadi menyimpang. Interpretasi atau kontruksi apa pun yang diambil harus akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan. Mengutip sumber referensi juga harus jelas. Mengutip pendapat ahli juga harus ahli yang sudah betul-betul diuji. Kompetensinya jelas. Jangan begitu orang lulus S2 langsung bsa jadi ahli, pandangannya diterima, padahal kompetensinya belum memadai. Hakim harus teliti mengutip pandangan ahli atau pakar, harus yang susah teruji kompetensinya. Baik yang dijadikan referensi dalam pertimbangan maupun diminta keterangan sebagai ahli.

 

Terakhir, bagaimana pandangan Anda tentang peran hukumonline dalam penyediaan informasi hukum yang dapat diakses masyarakat?

Hukumonline seringkali memuat informasi peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan, sudah diteken Presiden dan sudah dimasukkan ke Lembaran Negara. Ini tentunya sangat membantu. Sarana perpustakaan (informasi hukum) itu sangat terbatas. Tapi sarana perpustakaan yang online bisa diakses di manapun. Jangan ibukota kabupaten, ke desa-desa pun bisa akses. Itu sangat membantu dalam rangka meningkatkan kualitas putusan manakala, misalnya, hukumonline memuat ikhtisar-ikhtisar putusan, kaidah hukum, dan asas-asas hukum. Kadang juga memuat istilah hukum yang menjadi rujukan tertentu. Ini sangat membantu.

Tags:

Berita Terkait