Ketua KPK: Sinergi Aparat Penegak Hukum dengan KPK Tak Berjalan Baik
Utama

Ketua KPK: Sinergi Aparat Penegak Hukum dengan KPK Tak Berjalan Baik

Karena masih ada ego sektoral lembaga. Padahal mandat untuk KPK melakukan koordinasi dan supervisi sudah jelas diatur UU dan Perpres.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Ketua Sementara KPK, Nawawi Pomolango dan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (01/07/2024). Foto: RES
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Ketua Sementara KPK, Nawawi Pomolango dan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (01/07/2024). Foto: RES

Pemberantasan tindak pidana korupsi harus terus dilakukan karena kejahatan ini berdampak besar terhadap keuangan, perekonomian, dan pembangunan nasional. Tugas pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya dilakukan oleh 3 lembaga penegak hukum yakni Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Oleh karena itu sinergi ketiga lembaga penegak hukum dalam menangani masalah korupsi mutlak diperlukan.

Bahkan konsideran menimbang UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK menyebut kepolisian, kejaksaan, dan KPK sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya. Sehingga masing-masing lembaga dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap HAM.

Sayangnya, sinergi ketiga lembaga penegak hukum dalam penanganan perkara korupsi itu tidak berjalan mulus. Hal itu disampaikan Ketua Sementara KPK, Nawawi Pomolango, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (01/07/2024). Persoalan itu membuat KPK tidak optimal menjalankan tugasnya melakukan koordinasi dan supervisi. Sebagaimana diketahui UU 19/2019 mengatur tugas KPK antara lain melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Kita harus mengakui sinergitas antar aparat penegak hukum dengan KPK tidak berjalan baik, juga pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi tidak berjalan,” katanya.

Baca juga:

Nawawi mengatakan sekalipun pemerintah telah memberi arahan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No.102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi belum bisa berjalan optimal. Praktiknya, antar lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi harus menjalin kerjasama dalam bentuk Perjanjian Kerjasama (PKS). Padahal Perpres 102/2020 sudah mengatur supervisi secara jelas dan rinci.

“Ketika kita mengambil oknum Kejaksaan Negeri Bondowoso kemarin, ruang supervisi di Kejaksaan seperti tertutup,” ujarnya.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menambahkan, pemberantasan korupsi di negara lain seperti Singapura dan Hongkong hanya dilakukan oleh satu lembaga. Sementara di Indonesia dilakukan oleh 3 lembaga yakni Polri, Kejaksaan, dan KPK sehingga perlu koordinasi dan supervisi. Salah satu sebab koordinasi dan supervisi itu tidak berjalan baik karena masih ada ego sektoral lembaga.

“Kalau kami menangkap jaksa, mereka (kejaksaan,-red) menutup pintu, begitu juga dengan kepolisian,” urainya.

Alexander berpendapat persoalan tersebut berdampak terhadap keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi ke depan. Apalagi indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami tren penurunan dan yang disorot melulu KPK. Padahal banyak aspek penilaian indeks persepsi korupsi seperti kemudahan investasi, bisnis dan lainnya yang berada di luar kewenangan KPK.

Upaya pemberantasan korupsi juga tidak diikuti lembaga lain.

Hal itu menurut Alexander dapat dilihat dari absennya perubahan cara pandang kelembagaan dan personal. Bahkan ada tren beberapa tahun terakhir sebagian kalangan tidak takut lagi melakukan korupsi karena tingkat risikonya sangat rendah dan potensi untuk ketahuan sangat kecil. Sekalipun terjerat perkara korupsi, seolah ada banyak cara untuk lolos dari hukum.

Pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi KPK menurut Alexander tidak berjalan baik. Belum lama ini Pimpinan KPK dan deputi bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto membahas persoalan tersebut. Dalam pertemuan itu KPK meminta agar Menkopolhukam untuk memfasilitasi pertemuan antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian untuk membahas khusus soal isu korupsi. Sehingga ada pertemuan ketiga lembaga itu secara periodik misalnya setiap triwulan. Tapi sayangnya sampai saat ini belum ada tindak lanjut.

“3 bulan yang lalu tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya,” imbuhnya.

Menanggapi itu anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan materi yang disampaikan pimpinan KPK terkait koordinasi dan supervisi merupakan masalah yang serius. Dia berharap Komisi III DPR bisa menjembatani apa yang menjadi keluhan KPK.

“Laporan yang disampaikan pimpinan KPK ini jangan dianggap remeh, kita harus diskusikan dan cari jalan keluarnya,” usulnya.

Selain itu Johan yang mantan Juru Bicara KPK itu juga usul agar Komisi III menggelar rapat bersama antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian untuk membahas terkait koordinasi dan supervisi. Jika masalah ini tak dituntaskan dapat menghambat kerja-kerja pemberantasan korupsi, utamanya yang dilakukan KPK.

Tags:

Berita Terkait