Ketua Komnas HAM: UU PSDN Memperkuat Pendekatan Militeristik
Terbaru

Ketua Komnas HAM: UU PSDN Memperkuat Pendekatan Militeristik

Pendekatan militer terbukti tidak bisa menyelesaikan konflik seperti yang terjadi di Aceh dan Papua.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber peluncuran buku bertema 'Menggugat Komponen Cadangan: Telaah Kritis UU No.23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan', Kamis (30/6/2022). Foto: ADY
Narasumber peluncuran buku bertema 'Menggugat Komponen Cadangan: Telaah Kritis UU No.23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan', Kamis (30/6/2022). Foto: ADY

Mahkamah Konstitusi (MK) masih memproses pengujian UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Pengujian itu diajukan kalangan organisasi masyarakat sipil yang intinya menganggap UU PSDN bertentangan dengan konstitusi.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menilai pendekatan militeristik bakal menguat setelah terbit UU PSDN. Padahal, mengacu berbagai kasus terbukti pendekatan militeristik tidak bisa menyelesaikan konflik. “Belajar dari kasus Aceh dan Papua, pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan konflik,” kata Ahmad Taufan Damanik dalam diskusi dan peluncuran buku bertema “Menggugat Komponen Cadangan: Telaah Kritis UU No.23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan”, Kamis (30/6/2022).

Menurut Taufan, cara pandang selama ini terhadap penyelesaian konflik harus dibenahi karena tidak melulu diselesaikan dengan pendekatan militer atau keamanan. Militerisme tidak boleh ditempatkan sebagai solusi untuk setiap masalah.

Baca Juga:

Bagi Taufan, kampanye pemerintah untuk merekrut komponen cadangan (komcad) harus dikonter dengan narasi humanis dan demokratis. Generasi muda Indonesia perlu dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman bukan perang dengan membentuk milisi-milisi sipil. “Jangan sampai terjadi lagi peristiwa seperti Timor Leste dulu,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, menyoroti perluasan definisi ancaman pertahanan negara. Misalnya, dalam frasa “yang bertentangan dengan Pancasila” dan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang terdapat dalam Pasal 4 UU PSDN bersifat multi tafsir.

Wahyudi mencatat ada penambahan untuk ancaman hibrida dan identifikasi ancaman nonmiliter. “Seperti agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, dan lainnya bersifat problematik,” paparnya.

Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiatives, Al Araf, berpendapat masalah mendasar UU PSDN adalah cara pandang negara yang keliru melihat hubungan antara negara dan rakyat. Konstruksi bela negara tidak hanya terbatas pada keterlibatan warga negara dalam latihan dasar kemiliteran. Bela negara bisa jadi kesadaran politik warga negara dalam melihat dan mengadvokasi isu HAM dan kemanusiaan.

Menurut pria yang disapa Aal itu, mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, dosen atau guru yang mengajar dan mencerdaskan anak bangsa, pegiat HAM dan aktivis antikorupsi yang terus melakukan advokasi merupakan bagian dari bentuk kesadaran dalam bernegara. Pemerintah gagal dalam memahami substansi bela negara, nasionalisme, dan cinta tanah air, sehingga cenderung mempersempit maknanya menjadi berbentuk militeristik.

Paradigma berbangsa dan bernegara yang seperti ini harus dibongkar,” ujarnya.

Aal mengingatkan anggaran pertahanan Indonesia sangat terbatas. Mengacu buku putih Pertahanan Indonesia tahun 2018 alutsista yang siap pakai hanya 50 persen. Oleh karena itu pemerintah seharusnya lebih fokus membangun komponen utama pertahanan negara yakni TNI. Selain itu, pengaturan terkait anggaran Komcad yang bisa berasal dari APBN dan APBD juga tidak tepat dan bijak, mengingat masih banyak sekolah dan jalan-jalan di daerah yang rusak.

Tags:

Berita Terkait