Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra Tutup Usia
Terbaru

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra Tutup Usia

Azyumardi dikabarkan sempat mengalami gangguan kesehatan dalam kunjungan kerjanya di Malaysia, yang kemudian menjalani perawatan intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra saat mengisi acara wisuda keempat dan pengukuhan mahasiswa baru STIH Jentera angkatan ke-8 di Ballroom Gedung AD Premier, Jakarta, Kamis (8/9/2022). Foto: RES
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra saat mengisi acara wisuda keempat dan pengukuhan mahasiswa baru STIH Jentera angkatan ke-8 di Ballroom Gedung AD Premier, Jakarta, Kamis (8/9/2022). Foto: RES

Innalillahi wainnailaihi rojiun. Berita duka kembali menyelimuti dunia pendidikan tinggi di Tanah Air. Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra meninggal dunia pada Minggu (18/9/2022) di Selangor Malaysia. Azyumardi dikabarkan mengalami gangguan kesehatan dalam kunjungan kerjanya di Malaysia, yang kemudian menjalani perawatan intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia.

Azyumardi lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat pada 4 Maret 1955. Azyumardi meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Sepanjang hidupnya Azyumardi Azra mengabdi dalam dunia pendidikan. Namun beliau pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat pada tahun 1979-1985. Saat ini posisi terakhirnya sebagai Ketua Dewan Pers sejak 19 Mei 2022.

Direktur Eksekutif Indikator, Burhanudin Muhtadi, yang juga berasal dari UIN Jakarta juga mencuitkan kabar duka tersebut dalam akun Twitter miliknya. "Selamat jalan Prof Azyumardi Azra. Belum hilang rasa sedih kita kehilangan Buya Syafii Maarif, kini ditambah dengan berpulangnya Buya Azra. Semoga husnul khatimah," twitnya.

Baca Juga:

Dia menikah dengan Ipah Farihah dan dikaruniai 4 anak, yakni Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra. Azyumardi Azra dikenal sebagai Profesor ahli sejarah, sosial, dan intelektual Islam. Dia pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada masa jabatan 1998-2006.

Pada 2006, posisinya sebagai Rektor resmi digantikan oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Selain itu, pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, yakni sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris dan menjadi 'Sir' pertama dari Indonesia. Tujuh tahun kemudian (2017), Azyumardi Azra mendapatkan Orde Matahari Terbit: Kelas Bintang Emas dan Perak (Order of Rising Sun: Gold and Silver Star) yang merupakan tingkat tertinggi tanda jasa itu, dari Kaisar Jepang saat itu, Akihito (Heisei). Orde Matahari Terbit adalah tanda jasa pertama yang dianugerahkan Jepang pada 1876 sewaktu Kaisar Meiji, kaisar yang mencanangkan Restorasi Meiji tahun 1868 bertakhta.

Pada 2022, Azyumardi terpilih menjadi Ketua Dewan Pers periode 2022-2025. Azyumardi Azra memulai karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982. Kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, dia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Dia juga memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi Azra pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989.

Pada 1992, dia memperoleh gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries.

Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press). Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995, dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.

Azyumardi Azra pernah menjadi profesor tamu pada Universitas Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.


Tak hanya itu saja, Azyumardi pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Dia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009).

Sebelumnya, Azyumardi Azra pernah memberikan kuliah umum pada proses wisuda di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Menurutnya, Kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan secara bertahap. Kondisi ini bisa mengakibatkan hilangnya kualitas demokrasi sehingga bisa mengarah pada rezim otoriter.

Menurut Azyumardi, reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun belum membuahkan hasil yang betul-betul membanggakan dari sudut penegakan hukum. “Penegakan hukum kita masih memerlukan kerja keras dari kita. Dari seluruh yang bisa dilakukan dan telah lebih dari 20 tahun reformasi, dapat dikatakan reformasi tersebut belum membuahkan hasil yang membanggakan dari sudut penegakan hukum,” ujarnya saat orasi ilmiah dalam acara wisuda keempat dan pengukuhan mahasiswa baru STIH Jentera angkatan ke-8 di Ballroom Gedung AD Premier, Jakarta, Kamis (8/9).

Dalam hal penegakan hukum yang tidak adil, kata Prof Azra, itu terkait dengan permasalahan di sektor peradilan, baik yang melibatkan penyidik (jaksa dan polisi) maupun pemutus perkara (hakim). Ia juga mengutarakan tentang diskon hukuman besar-besaran yang diberikan kepada 10 narapidana koruptor pada Selasa (6/9) yang lalu.

“Pemberian diskon hukuman kepada narapidana korupsi menandakan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dari jaksa dan peradilan tengah bermasalah. Saat ini undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK sudah lemah. Apalagi ditambah peradilannya juga lemah,” ungkapnya.

Ia juga mempermasalahkan pembatasan dalam mengemukakan pendapat yang sampai sekarang  masih terus terjadi. “Sekarang kita tidak lagi bebas. Ketika kita bergerak sedikit, HP kita dibajak. Akan tetapi, kita tidak tahu persis siapa yang membajak. Setiap kali ada pergerakan dari kelompok masyarakat, selalu ada perundungan,” paparnya.

Penyebaran informasi melalui siniar (podcast) juga tidak lepas dari perundungan. Ia berpandangan, bahwa hal itu merupakan pelanggaran berat dan tidak seharusnya terjadi. Masih ditemukan pula kelompok minoritas yang ditindas. Belum lagi ditemukannya beberapa pejabat publik yang memberikan isyarat atau informasi yang tidak benar kepada warga.

Prof Azra menilai penegakkan hukum di negara ini masih memerlukan pembenahan serius. Dia menengarai, dari seluruh gerakan reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun ini, sektor yang belum membuahkan hasil membanggakan adalah sudut penegakan hukumnya.

Penegakan hukum, kata dia, seharusnya ditujukan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum di masyarakat. “Ini merupakan tugas yang berat. Kita memerlukan sebuah diskusi untuk menjalankan reformasi jilid dua, terutama dalam penegakan hukum. Inilah tantangan dan tugas kita semua supaya terwujud pembaruan hukum yang berkembang di negeri kita,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait