Ketika Pengadilan Sudah Tidak Dibutuhkan Lagi
Khotbah Idul Adha

Ketika Pengadilan Sudah Tidak Dibutuhkan Lagi

Masing-masing orang menjalankan hak dan kewajibannya secara konsekuen.

ALI
Bacaan 2 Menit
Ketua Badan Pembina YPI Al Azhar Jimly Asshiddiqie usai menjadi khotib solat Idul Adha di Jakarta, Sabtu (4/10). Foto: Ali
Ketua Badan Pembina YPI Al Azhar Jimly Asshiddiqie usai menjadi khotib solat Idul Adha di Jakarta, Sabtu (4/10). Foto: Ali

Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar Jimly Asshiddiqie mengkisahkan di sebuah negara yang ideal, pengadilan sudah tidak diperlukan lagi bila masyarakat sudah memahami hak dan kewajibannya.

Jimly, dalam khotbah Idul Adha pada Sabtu (4/10), menyatakan bahwa kondisi ideal sebuah negara ini pernah terjadi di era kekhalifaan Abu Bakar Siddiq di Madinah. Ia pun mengisahkan dialog antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Kala itu, lanjut Jimly, Abu Bakar sebagai khalifah (pemimpin negara) mengangkat Umar menjadi qadhi (hakim) di kota Madinah. “Kira-kira mungkin sekarang seperti Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) atau Ketua Mahkamah Agung (MA),” ujarnya saat menjadi khotib di lapangan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta.

Setelah setahun menjabat, Umar datang menghadap khalifah guna menyampaikan maksud menyerahkan kembali jabatannya itu kepada khalifah. Abu Bakar selaku khalifah pun heran dengan sikap Umar ini. Dia bertanya, “Apakah engkau merasa berat menjadi qadhi ya Umar?”

Umar pun menjawab, “tidak”. Ia mengutarakan alasan pengunduran dirinya karena kaum mukminin sama sekali tidak membutuhkan pengadilan.  Semua warga kita sudah mengerti apa yang menjadi hak mereka, dan mereka tidak menuntut lebih dari hak mereka; dan apa yang menjadi kewajban bagi mereka, mereka pun tidak berusaha untuk menguranginya.

“Selama setahun tidak ada perkara,” sambung Jimly.

Jimly menjelaskan, di era itu, semua warga menyukai untuk sesama mereka apa yang mereka sendiri sukai untuk diri mereka sendiri. Jika ada yang hilang, mereka akan mencarinya. Jika ada yang sakit, mereka akan menjenguk. Jika ada yang membutuhkan, mereka datang menolong. Jika ada keperluan, mereka saling membantu.

Jika ada yang terkena musibah, mereka turut berduka. Dan dalam beragama, lanjut Jimly, mereka pun penuh toleransi. Mereka saling mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. “Maka, bagaimana mungkin mereka mau bersengketa di pengadilan?” ujar Jimly menyitir ucapan Umar.

“Dikatakan oleh Umar ibn Khattab, semua orang tahu batas hak dan kewajibannya masing-masing dan mereka tidak akan mengurangi kewajiban dan menuntut lebih dari yang haknya masing-masing. Dalam keadaan demikian tentu tidak diperlukan adanya pengadilan sama sekali,” tambah Jimly.

Lebih lanjut, Jimly membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. “Kitalah negeri muslim dengan penduduk terbesar di dunia, tetapi tingkat kejahatan di semua bidang dan bahkan di bidang korupsi juga tergolong nomor satu di dunia,” ujarnya.

Selain itu, Jimly mengungkapkan jumlah narapidana di Jabodetabek sampai sekarang mengalami over kapasitas hampir 300 persen dari daya tampung semua lembaga pemasyarakatan yang ada. Soal daya tampung ini, lanjutnya, bukan karena ketidakmampuan kita membangun penjara, tetapi tingkat kriminalitas memang terus meningkat secara fantastis dari waktu ke waktu.

“Artinya, meski hukum sudah ditegakkan dengan setegak-tegaknya, hasilnya belum tentu efektif, jikalau hukum yang ditegakkan tidak berhasil memastikan standar moral dalam masyarakat kita tidak mengalami perbaikan dari waktu ke waktu,” ujarnya.

Jimly mengatakan kita kerap menegakan hukum, tetapi yang kita tegakan bukan keadilan, melainkan hanya formalisme teks-teks peraturan-peraturan yang hanya dipahami secara gramatikal dan tidak berjiwa. “Jikalau akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak berfungsi, semua upaya penegakan hukum juga tidak akan efektif mencapai tujuannya,” tambah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Menurutnya, akhlak bangsa mutlak harus dibenahi. Ia mengutip pendapat Ketua MA Amerika Serikat (1953-1969) Earl Warren akan pentingnya etika dalam penegakan hukum, “In a civilised world, law floats in a sea of ethics (di dunia yang beradab, hukum mengapung di samudera etika).”

Jimly menuturkan bahwa inspirasi cerita dialog Umar ibn Khattab dan khalifah Abu Bakar Siddiq tersebut dapat dimulai dari diri kita masing-masing. “Kita harus menanamkan tekad dimanapun kita berada untuk hanya mengambil tidak lebih dari hak kita, dan memberi tidak kurang dari kewajiban kita,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait