Ketika Pemerintah Berharap Ada Dewan Kehormatan Advokat Nasional
Utama

Ketika Pemerintah Berharap Ada Dewan Kehormatan Advokat Nasional

Namun, pemerintah menganggap norma yang diuji para pemohon seharusnya ditolak. Sebab, DKOA yang ada saat ini hanya bisa memeriksa dugaan pelanggaran etik advokat, bukan substansi norma hukum pidana.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Undang-Undang (UU) No. 18  Tahun 2003 tentang Advokat banyak mengandung kelemahan lantarannya seringnya diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya yang kini sedang berproses yaitu aturan hak imunitas advokat, khususnya frasa “itikad baik” dalam Pasal 16 UU Advokat yang dipersoalkan beberapa warga negara yang berprofesi sebagai advokat yakni Yohanes Mahatma Pambudianto, Hermawanto, Herwanto, Tubagus Ikbal Nafinur Aziz, Firly Noviansyah    

 

Mereka meminta “itikad baik” seorang advokat harus diuji terlebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Advokat sebelum mendapat jaminan perlindungan agar tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) sesuai amanat Pasal 16 UU Advokat jo Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 yang memperluas hak imunitas/perlindungan advokat yang tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata dalam rangka kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar persidangan.

 

Namun, saat ini masing-masing organisasi advokat yang ada memiliki dewan kehormatan organisasi advokat (DKOA) sendiri-sendiri. Tentu, hal ini menyebabkan ukuran penilaian itikad baik seorang advokat saat membela kliennya menjadi berbeda-beda dan tidak dapat terukur.

 

Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Ninik Hariwanti menilai bila itikad baik seorang advokat saat membela kliennya diserahkan kepada DKOA masing-masing tentu akan mengubah tatanan sistem hukum.   

 

Misalnya, jika seorang advokat melanggar etik dibarengi melakukan tindak pidana baik di dalam maupun di luar persidangan harus terlebih dahulu meminta keputusan dari DKOA masing-masing, hal ini tentunya menghambat proses hukum. Terlebih, apabila advokat yang bersangkutan terkena operasi tangkap tangan (OTT)

 

“Tetapi, pemerintah nantinya bisa mengusulkan ada semacam Dewan Kehormatan Organisasi Advokat Nasional (DKOAN) agar ada standardisasi yang jelas melalui revisi UU Advokat bersama DPR,” kata Ninik, saat menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Suhartoyo di sidang lanjutan pengujian UU Advokat di Gedung MK Jakarta, Rabu (17/10/2018). (Baca Juga: Advokat Minta Mekanisme ‘Hak Imunitas’ Diperjelas)

 

Suhartoyo menilai penjelasan pemerintah sebelumnya seolah-olah mengakui DKOA ada di masing-masing organisasi advokat. Sebab, hal ini sangat berkaitan dengan permohonan pemohon terkait dengan penilaian “itikad baik” advokat oleh DKOA sebelum diproses hukum.  

 

“Dari penjelasan pemerintah bias, seolah pemerintah melakukan pembiaran ini terjadi. Ini menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah bersama DPR untuk segera mengakhiri polemik pilihan sistem organisasi advokat melalui politik legislasi,” kata Suhartoyo dalam persidangan.

 

Ninik melanjutkan nantinya keberadaan DKOAN diatur secara jelas kedudukan, tugas, dan wewenangnya. Mulai ruang lingkup pembentukan DKAO Nasional, standarisasi sanksi bagi advokat yang melanggar etik. Keanggotaannya bisa berasal dari unsur advokat senior, akademisi, dan pemerintah. “Nantinya para advokat yang diduga melanggar kode etik dan berpotensi dugaan tindak pidana tidak berlindung di DKOA masing-masing organisasi advokat,” ujarnya.

 

Dia beralasan konsep DKOAN tepat ditengah organisasi advokat bersifat multi bar meskipun UU Advokat bersifat single bar. “Nantinya terbentuk DKOA Nasional hanya satu dan bersifat tetap, tetapi organisasi advokatnya bermacam-macam,” kata dia.

 

Sebelumnya, dalam keterangannya yang disampaikan Ninik, pemerintah menganggap norma yang diuji para pemohon seharusnya ditolak. Sebab, DKOA yang ada saat ini hanya bisa memeriksa dugaan pelanggaran etik advokat, bukan substansi norma hukum pidana. Terlebih, kode etik masing-masing organisasi advokat berbeda-beda. Karena itu, keinginan para pemohon yang meminta agar pembuktian itikad baik seorang advokat dilakukan oleh DKOA sebelum masuk proses pengadilan pidana tidak beralasan menurut hukum.

 

Pemerintah beralasan permintaan para pemohon itu khawatir dapat mereduksi kewenangan polisi dan pengadilan dalam upaya penegakkan hukum. Selain itu, DKOA dikhawatirkan dapat menghilangkan barang bukti dan bukti-bukti lain terkait dugaan perkara pidannya. “Untuk itu, pemerintah berpendapat permohonan pemohon tidak beralasan demi hukum.”  

 

Dalam permohonannya, para pemohon beralasan secara praktis hak imunitas (kekebalan) advokat hingga saat ini dinilai belum memiliki mekanisme/prosedur perlindungan secara jelas. Sebab, profesi advokat saat menjalankan tugas profesinya potensial dikriminalisasi dan digugat ke pengadilan atau dikenal tindakan obstruction of justice, meskipun saat membela kliennya baik di dalam maupun di luar sidang sudah beritikad baik.

 

Menurutnya, gugatan/tuntutan pidana terhadap advokat tanpa melalui mekanisme pemeriksaan “itikad baik” oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat terlebih dahulu tidak sesuai jaminan perlindungan yang diberikan Pasal 16 UU Advokat. Karena itu, advokat yang dilaporkan karena diduga melanggar kode etik dan tindak pidana harus terlebih dahulu melalui penilaian "itikad baik" oleh DKOA sebelum masuk proses peradilan. (Baca juga: Hanya Dewan Kehormatan Advokat yang Berhak Menilai ‘Itikad Baik’)

Tags:

Berita Terkait