Ketika Ketua KPK “Bocorkan” Adanya Laporan Korupsi Kepala Daerah dari Istri Pelaku
Berita

Ketika Ketua KPK “Bocorkan” Adanya Laporan Korupsi Kepala Daerah dari Istri Pelaku

Penangkapan yang selama ini dilakukan dianggap tidak efektif.

Aji Prasetyo
Bacaan 3 Menit
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Foto: RES
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Foto: RES

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memang kerap membuat “kejutan”. Setelah sebelumnya “kejutan” itu berupa adanya laporan dugaan pelanggaran etik karena menggunakan mobil mewah, kemudian setelah itu majelis etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK memutus ia bersalah dan mendapat sanksi ringan. Setelah itu Firli juga dilaporkan lagi perihal etik karena dianggap bertanggung jawab atas OTT “gagal” di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Belum lagi kejutan-kejutan lain yang diberikan seperti berusaha menghindari wartawan, adanya tagar Firlitalk di media tertentu. Kemudian di kepemimpinan Firli juga ada perubahan pengumuman penetapan tersangka sekaligus penahanan yang di sana tersangkanya juga dihadirkan. Serta yang terbaru, adanya pengajuan mobil dinas yang menuai kontroversi.

Dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020 yang disiarkan kanal YouTube KPK, Selasa (10/11), Firli menyebut adanya seorang kepala daerah yang dilaporkan oleh istrinya sendiri. Alasannya pun cukup menarik, sebab istrinya itu tidak menikmati uang suap tersebut. Dan uang itu, menurut laporan diterima oleh istri-istrinya yang lain. (Baca Juga: Percakapan Jenderal Polisi dan Perantara Suap Joko Tjandra Soal Uang “Dua Ikat” Diungkap Saksi)

“Laporan korupsi itu yang dilakukan oleh kepala daerah pasti (dari) orang terdekat. Kami ambil contoh, kami menangkap bupati yang lapor istrinya, coba pak, seorang istri melaporkan bupati yang korupsi, kira-kira apa jawabannya kenapa. Karena dia hanya menerima tapi tidak menikmati. Begitu terima uang itu langsung digeser ke istri kedua, istri ketiga, istri keempat, dan istri kelima,” terangnya dalam acara tersebut.

Menurut Firli, istri kepala daerah itu mengirimkan foto kepada pihak KPK, masih dari pengakuannya kepala daerah itu sudah tidak lagi memiliki uang, namun ia mendapat kiriman uang yang diduga merupakan suap atau gratifikasi. “Ini terjadi pak. Bukan tidak terjadi. Bener terjadi, real!” tegasnya. (Baca: Uang Pecahan 1.000 Dolar Singapura dan Kasus Kejahatan Keuangan di Tanah Air)

Selain itu, ia juga berkata akan ada dua orang kepala daerah yang ditahan pada pekan depan yang merupakan bupati dan wali kota. “(Pada) 2020 ini kami sudah tahan 1, 2, 3, sudah tiga kepala daerah yang kita tahan. Terbaru kemarin Tasik (Wali Kota Tasikmalaya). Nanti minggu depannya ada Pak, Bapak lihat saja nanti, minggu depannya ada lagi, bupati dan wali kota,” tuturnya.

Dalam data yang dimiliki KPK, terbanyak yang tertangkap karena kasus korupsi suap itu pada 2018 sebanyak 30 kali orang tertangkap tangan karena korupsi dan dari jumlah itu ada 22 kepala daerah. Selain itu, Firli menyebut sebaran kasus korupsi di 34 provinsi di Indonesia. Menurut Firli, terjadi kasus korupsi yang ditangani KPK di 26 provinsi dari 34 provinsi sepanjang 2014-2020.

Ibarat operasi zebra

Firli juga menjawab sejumlah pertanyaan yang muncul di publik saat ini tentang minimnya OTT yang dilakukan KPK. Menurutnya, menangkap koruptor tak akan menghentikan orang untuk tidak melakukan korupsi, justru sebaliknya cara-cara seperti itu tidak bisa memberantas kasus tindak pidana korupsi yang kerap terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Ia pun mengibaratkan OTT yang dilakukan layaknya operasi zebra yang dilakukan Ditlantas Polri. “Kalau ibarakan operasi zebra yang dilaksanakan Kepolisian pak, misalnya saja di depan ada jalan Diponegoro operasi pak polisi, apakah akan menghentikan orang melanggar? Tidak, dia akan menghindari dari Jalan Diponegoro, muter dulu dia supaya tidak tertangkap. Itu juga terjadi dengan korupsi,” ujarnya.

Cara yang paling efektif menurut Firli yaitu dengan melakukan pendekatan pendidikan masyarakar supaya timbul perubahan perilaku agar tidak ingin melakukan korupsi. Pola yang dilakukan yaitu menyentuh individu masing-masing melalui alam pikiran dan hatinya agar tidak melakukan korupsi, baik ia selaku pemberi maupun penerima.

“Apakah pekerjaan KPK berhenti atau bubar Pak? Enggak, semakin berhasil .. Semakin gencar KPK melakukan pendidikan masyarakat,” pungkasnya.

Kemudian cara yang kedua yaitu melakukan pencegahan seperti yang sedang dilakukan KPK dalam acara tersebut. Ia meminta para calon kepala daerah memetakan daerah mana yang rawan korupsi kemudian dijadikan lokasi kampanye. Pola yang digunakan pun sama yaitu dengan melakukan pendidikan kepada masyarakat serta memperbaiki sistem agar tidak mudah “diakali” oknum-oknum tertentu untuk melakukan korupsi.

“Karena korupsi itu juga ada disebabkan karena sistem. Yang pernah kita baca korupsi itu disebabkan karena buruk, gagal, dan lemahnya sistem, Cakada bisa menggunakan program perbaikan sistem supaya tidak terjadi korupsi.” terangnya

Dan yang terakhir yaitu dengan melakukan penindakan. Menurutnya, penindakan yang dilakukan bukan hanya terkait dengan penangkapan atau OTT tetapi penindakan itu bisa menimbulkan kesadaran hukum masyarakat agar tidak melakukan korupsi. Dan upaya-upaya ini bisa berjalan dengan bantuan para pemangku kepentingan termasuk kepala daerah terpilih nantinya. Ada satu hal dari kajian KPK kalau orang itu melakukan korupsi karena rendahnya integritas,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait