Ketika Istana Menaruh Perhatian Pada Potensi Penyebaran Covid-19 Lewat Klaster Pilkada
Berita

Ketika Istana Menaruh Perhatian Pada Potensi Penyebaran Covid-19 Lewat Klaster Pilkada

Menurut Presiden, pelaksanaan protokol kesehatan tidak boleh ditawar-tawar.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES

Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilihan Umum mengambil keputusan dengan pertimbangan optimis untuk melaksanakan Pilkada serentak yang sebelumnya sempat tertunda tahapan-tahapannya pada 9 Desember 2020 mendatang. Keputusan ini diambil dengan satu catatan, yakni seluruh pemangku kepentingan dapat memperhatikan dan melaksanakan protokol keselamatan Covid-19.

Sedari awal banyak pihak menekankan hal ini, agar Pilkada serentak 2020 tidak menjadi bagian dari klaster baru penyebaran ovid-19 yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Namun, data hasil pemantauan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), pada saat pelaksanaan pendaftaran bakal pasangan calon menunjukkan trend yang mengkhawatirkan.

Hampir setengah dari seluruh bakal pasangan calon yang diterima pendaftarannya oleh KPU di daerah-daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak, oleh Bawaslu dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap protokol Covid-19. 243 dari total 687 bakal pasangan calon menurut Bawaslu telah melakukan pelanggaran protokol keselamatan Covid-19 selama dua hari, 5-6 September 2020.

“Pada hari pertama kami mendapat data ada 141 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan, dan pada hari kedua ada 102. Totalnya ada 243,” ujar Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar, Senin (7/9) dini hari di kantor KPU.

Hal ini tentu saja mendatangkan kekhawatiran bagi sejumlah pihak. Upaya serius menekan penyebaran Covid-19 seakan kontraproduktif dengan kenyataan dimana tingkat kepatuhan peserta Pilkada serentak Desember 2020 terhadap protokol keselamatan Covid-19 rendah. Terhadap situasi ini, masyarakat sipil bahkan mengeluarkan rekomendasi serius agar gelaran tahapan Pilkada serentak kembali ditunda. (Baca Juga: Menyoal Kepatuhan Peserta Pilkada Serentak Terhadap Protokol Covid-19)

“Jika pemerintah, KPU, dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan akan dipenuhi secara ketat, kami mendesak agar tahapan Pilkada 2020 ditunda terlebih dahulu, sehingga pelaksanaan pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran Covid-19,” tegas Manajer Program Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdhanil.

Pemerintah bukan tidak mengingatkan, Presiden saat memberi pengantar pada Sidang Kabinet Paripurna mengenai Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi untuk Penguatan Reformasi Tahun 2021 mengidentifikasi tiga klaster penyebaran Covid-19 dimana salah satunya merupakan klaster Pilkada. (Baca Juga: Pendaftaran Bapaslon Pilkada Serentak Rampung, 37 Orang Calon Positif Covid-19)

“Hati-hati yang namanya klaster kantor, yang kedua klaster keluarga hati-hati, yang terakhir juga klaster pilkada hati-hati ini, agar ini selalu diingatkan,” ujar Presiden Joko Widodo, Senin (7/9) di Istana Negara.

Dalam kesempatan itu, Presiden mengingatkan kepada Menteri Dalam Negeri, Polri, serta Bawaslu untuk benar-benar bersikap tegas terhadap pelanggaran protokol keselamatan Covid-19 di lapangan. ”Polri juga berikan ketegasan mengenai ini, aturan main di pilkada, karena jelas di PKPU-nya sudah jelas sekali. Jadi ketegasan saya kira Mendagri nanti dengan Bawaslu agar ini betul-betul diberikan peringatan keras,” imbuh Presiden.

Sehari kemudian, saat memimpin rapat terbatas yang membahas mengenai Lanjutan Pembahasan Persiapan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak, memberikan arahan terkait pelaksanaan protokol kesehatan saat proses Pilkada berlangsung.

Arahan Presiden yang pertama terkait keselamatan dan kesehatan masyarakat adalah segala-galanya. Menurut Presiden, pelaksanaan protokol kesehatan tidak boleh ditawar-tawar. Kemudian yang kedua, Presiden menekankan bahwa keberhasilan untuk keluar dari berbagai risiko akibat pandemi adalah jika berhasil menangani masalah kesehatan atau bisa menangani permasalahan pandemi.

Karena itu, Presiden menekankan bahwa kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada harus dilakukan. “Saya mengikuti situasi di lapangan, masih banyak pelanggaran protokol yang dilakukan oleh bakal pasangan calon. Misalnya, masih ada deklarasi bakal pasangan calon pilkada yang menggelar konser yang dihadiri oleh ribuan dan mengundang kerumunan menghadirkan massa,” imbuh Presiden.

Menurut Presiden, pelaksanaan Pilkada pada Desember mendatang adalah suatu keharusan karena tidak bisa menungu sampai tiba waktu di mana pandemi akan berkahir. Hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang bisa menentukan kapan pandemi Covid-19 usai. Karena itu menurut Presiden pelaksanaan Pilkada mendatang menggunakan pendekatan normal baru dengan tata cara baru.

Pesan Presiden yang ketiga adalah, meminta semua pihak kepada penyelenggara pemilu: KPU, Bawaslu, aparat pemerintah, jajaran keamanan dan penegak hukum, kepada seluruh aparat TNI dan Polri, seluruh tokoh masyarakat atau organisasi untuk aktif bersama-sama mendisplinkan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatann.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan dirinya telah memberikan teguran keras kepada 53 petahana saat pendaftaran bakal pasangan calon serta mengantisipasi kemungkinan kerumunan massa selanjutnya pada momen pengumuman pasangan calon yang memenuhi syarat, tanggal 23 September 2020 dan selama masa kampanye yang panjang 26 September-5 Desember 2020.

Menurut Tito, sosialisasi yang berdekatan waktunya bisa menjadi penyebab terjadinya kerumunan massa. Selain itu Tito menilai ada kesengajaan dari kontestan yang ingin menunjukkan kekuatan dukungan terhadap dirinya dengan cara pengeraha masa sehingga berdampak pada dilanggarnya aturan Covid-19.

”Kita tentu melakukan langkah-langkah untuk memberikan efek deteren, maka kami melakukan peneguran. Dari Kemendagri memiliki akses untuk memberikan punishment kepada kontestan yang ASN, misalnya kepala daerah petahana. Per hari ini sudah 53 kepala daerah petahana yang ikut berkontestasi dan melakukan kerumunan sosial itu kami berikan teguran kepada mereka, teguran dulu. Ini nanti implikasinya ada,” ujar Tito.

Meski begitu, Tito mengakui ada kendala terhadap kontestan yang bukan daerasal dari ASN. Menurut Tito, Kemendagri tidak memiliki akses untuk memberikan sanksi kepada bakal pasangan calon tersebut. Karena itu hal ini menjadi ranahnya Bawalu. Ia  menyampaikan bahwa Bawaslu, terutama beberapa Bawaslu Daerah telah melakukan peneguran kembali.

”Jadi sanksi teguran dulu yang penting untuk memberikan efek deteren jangan sampai yang sudah berlangsung ini mereka anggap enggak ada masalah. Mereka harus tahu bahwa ini bermasalah, mereka melanggar. Tahu atau tidak tahu, dalam istilah hukum kita mengenal asas fiksi dalam hukum, artinya ketika diundangkan semua orang dianggap tahu. Nah jadi kita memberikan sanksi dulu,” lanjut Tito.

Tito mengidentifikasi sejumlah tahapan yang raean terjadinya pelanggaran seperti tahapan verifikasi bakal pasangan calon yang paling lambat akan diumumkan pada 23 September mendatang.  ”Yang memenuhi syarat bisa saja nanti kalau tidak diingatkan mereka nanti euforia, arak-arakan, yang tidak memenuhi syarat marah. Nah tidak boleh terjadi aksi anarkis, tidak boleh mengumpulkan massa. Mereka disalurkan melalui proses hukum, yaitu boleh melakukan gugatan sengketa,” imbuhnya.

Kerawanan lainnya, sambung Mendagri, pada saat kampanye yang cukup panjang, 26 September-5 Desember 2020 sehingga perlu ada keseragaman langkah dari semua stakeholder. ”Ini harus didukung oleh TNI, Polri, BIN, dan Satpol PP, semua harus bergerak. Kemudian kampanye pun sudah diatur oleh Ketua KPU, tapi ini perlu disosialisasikan. Kemudian juga pemungutan suara, teknisnya sangat teknis sekali. Kalau diikuti teknis itu sebetulnya saya melihat sama dengan cara yang dilakukan Korea Selatan, persis dan itu kalau diikuti sebetulnya aman,” ungkap Tito.

Tags:

Berita Terkait