Ketika Indikasi Demokrasi di Ambang 'Kematian'
Utama

Ketika Indikasi Demokrasi di Ambang 'Kematian'

Ancaman kematian demokrasi dilakukan dengan menerbitkan sejumlah UU yang ugal-ugalan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
 Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam acara Konferensi ke-9 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) bertema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi, Senin (24/6/2024). Foto: Tangkapan layar zoom
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam acara Konferensi ke-9 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) bertema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi, Senin (24/6/2024). Foto: Tangkapan layar zoom

Indeks demokrasi secara global menunjukkan tren yang kurang menggembirakan, termasuk Indonesia. Terjadi stagnan sampai kemunduran demokrasi di banyak negara. Ironisnya, keterpurukan demokrasi itu belum membaik, malah semakin buruk. Apalagi Indonesia menjadi negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi.

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan hukum pada praktiknya menjadi instrumen yang digunakan penguasa. Konstruksi hukum sejatinya untuk membatasi kekuasaan. Hal itu umum berlaku dalam prinsip negara hukum (rechtsstaat). Negara tak sekedar dijalankan oleh pemegang kekuasaan tapi juga warga negara ikut berperan.

“Gagasan demokrasi bertumpu pada suara warga yang kemudian muncul dalam ranah teknis bagaimana agregasi suara itu dalam proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan eksekutif,” kata Bivitri dalam acara Konferensi ke-9 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) bertema “Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi”, Senin (24/6/2024).

Dalam hal pemerintahan republik, nilai-nilai yang bersifat publik berhadapan dengan privat. Tapi ada kebajikan (virtue) yang menekankan pada etik dan kepentingan bersama. Bivitri menyebut negara perlu diterjemahkan dalam konteks konkret, misalnya filsuf asal Perancis Montesquieu membagi dalam 3 cabang kekuasaan.

Baca juga:

Perkembangannya kemudian dibuat prosedur untuk menduduki masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Mereka yang mengampu jabatan pada ketiga lembaga itu merupakan empunya kekuasaan. Semakin kompleks dan rumit karena kekuasaan juga disusupi kepentingan ekonomi, tak murni lagi republik. Perdebatan juga muncul soal siapa pembuat hukum apakah politisi atau yuris.

Bivitri melihat sebagian pandangan berpendapat hukum hasil perdebatan antar yuris merupakan yang terbaik. Sedangkan politikus yang membuat hukum sekaligus membawa agenda ekonomi politik yang pragmatis. Oleh karenanya prosedur partisipasi publik penting untuk dibangun. Tapi muncul juga pertanyaan benarkah hukum yang dibuat para yuris selalu lebih baik dibandingkan politikus?.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait