Ketika Hakim Memutus Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono
Berita

Ketika Hakim Memutus Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono

Meskipun hakim mengesampingkan seluruh petitum yang diminta penggugat, bukan berarti tergugat lolos dengan sendirinya. Bisa saja tergugat dihukum.

CRN
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, Pemerintah diharuskan mengambil langkah konkrit mengatasi gangguan psikologis yang diderita oleh mereka yang gagal dalam ujian nasional (UN). Majelis sependapat UN merupakan alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun faktanya tidak semua satuan pendidikan memiliki guru dan sarana pendidikan yang berkualitas sama dengan satuan pendidikan lainnya. Masih banyak satuan pendidikan yang kekurangan guru dan sarana pendidikan.

 

Ketika melaksanakan UN, para tergugat dianggap lalai memberikan perlindungan HAM kepada warga, khususnya yang menjadi ‘korban' alias mereka yang gagal. Depdiknas sama sekali tak memberi peluang untuk ujian ulangan, melainkan hanya memberi kesempatan ujian paket C. Padahal, banyak ‘korban' tercatat sebagai siswa pintar di sekolahnya. Mereka gagal hanya karena nilai pada salah satu dari tiga mata pelajaran UN rendah. Walhasil, kesempatan mereka untuk melanjutkan ke perguruan tinggi untuk sementara pupus hanya karena terbentur hasil UN. Kondisi ini menyebabkan korban mengalami gangguan mental.

 

Asfinawati, anggota Tim Advokasi Korban UN selaku kuasa hukum penggugat, mengaku puas dengan putusan ini. Secara garis besar kami setuju dengan majelis hakim yang menggunakan perpektif HAM. Meskipun gugatan primer kami tidak dikabulkan, tapi menurut kami putusan ini sudah win-win solution dengan mengabulkan gugatan subsider (ex aquo et bono), ungkapnya.

 

Dalam gugatan primer yang diajukan sebelumnya, para korban UN menuntut agar para tergugat melakukan permintaan maaf kepada para penggugat dan tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan seorang siswa. Kelulusan juga harus mempertimbangkan nilai rapot dan prestasi murid yang bersangkutan, tidak hanya UN semata, tambah Asfin. Namun, tuntutan yang satu ini tidak dikabulkan majelis hakim. Artinya, untuk selanjutnya nilai UN tetap menjadi satu-satunya faktor penentu lulus tidaknya siswa.

 

Tak hanya Asfin, sejumlah orang tua, guru dan murid yang hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga turut merasakan kebahagiaan serupa. Beberapa diantara mereka malah saling berpelukan dan menangis terharu. Betapa tidak, hampir setahun penantian panjang mereka menunggu putusan ini terbayar sudah.

 

Melati Putri Pertiwi contohnya. Mantan siswa SMU Negeri 6 Jakarta ini adalah salah satu korban pelaksanaan UN tahun 2006. Ia dinyatakan tidak lulus karena mendapat nilai 3,3 untuk nilai matematika pada saat UN. Adanya putusan ini menandakan kami tidak salah, ujar Melati puas. Gagal UN sempat membuat Melati kecewa dan frustasi. Dia depresi  berat dan sempat tidak mau tinggal di Indonesia, ungkap Mujimin, ibunda Melati, sambil berkaca-kaca.

 

Hal serupa juga dirasakan Ayi, mantan siswa SMU Negeri 82, Jakarta. Gadis bernama lengkap Siti Nurul Akbari ini selalu masuk lima besar di kelasnya sejak kelas 1 SMU. Saya kecewa banget. Teman saya bahkan mengejek, ngapain jadi Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan ranking terus-terusan kalau ngga lulus UN?, akunya.

Tags: