Ketika Doktrin Societas Delinquere Non Potest Tak Dapat Dipertahankan Lagi
Seminar Mahupiki 2019:

Ketika Doktrin Societas Delinquere Non Potest Tak Dapat Dipertahankan Lagi

Pengaturan pokoknya sudah dimasukkan ke dalam RUU KUHP.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Mahupiki menggelar seminar di kampus FH UI Depok yang menghadirkan sejumlah pakar hukum pidana, antara lain Prof. Muladi. Foto: MYS
Mahupiki menggelar seminar di kampus FH UI Depok yang menghadirkan sejumlah pakar hukum pidana, antara lain Prof. Muladi. Foto: MYS

Nama tujuh perseroan terbatas tertera dalam naskah pidato Jaksa Agung yang dipersiapkan untuk seminar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (18/2). Jaksa Agung HM Prasetyo tidak hadir, dan digantikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman. Nama ketujuh perusahaan itu disebut dalam konteks langkah Kejaksaan Agung menangani tindak pidana yang dilakukan korporasi.

Meskipun Toegarisman tak membacakan satu per satu nama perseroan, toh ia mengungkapkan komitmen Kejaksaan untuk terus menggunakan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus-kasus yang melibatkan korporasi sebagai pelaku. Kejaksaan pula yang memulai ‘tradisi’ menjerat korporasi itu pada 2009 silam ketika korps adhyaksa melakukan penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana (GJW). Perusahaan ini dituntut bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembangunan pasar Sentra Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Lama setelah perkara GJW, Kejaksaan kembali menjerat beberapa perusahaan lain sebagai pelaku kejahatan korporasi. Dari situlah muncul nama tujuh perseroan terbatas. Salah satu yang menghebohkan dan menimbulkan polemik hukum adalah kasus PT Indosat dan PT Indosat Mega Media. Enam perusahaan lain tersebar di Bengkulu, Papua Barat, dan Sumatera Utara.

Komisi Pemberantasan Korupsi juga sudah menerapkan penuntutan yang sama. Salah satunya perkara korupsi PT Nusa Kontruksi Enjiniring. Perusahaan yang awalnya bernama Duta Graha Indah dituntut karena dianggap melakukan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana, dan tujuh proyek pemerintah lainnya. Perusahaan ini mendapatkan keuntungan miliaran rupiah. Majelis hakim akhirnya menghukum perseroan. Inilah pertama kalinya KPK berhasil menjerat korporasi dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.

(Baca juga: KPK Eksekusi Aset Terpidana Korupsi Korporasi).

Upaya yang ditempuh Kejaksaan Agung dan KPK merupakan sebagian bukti perkembangan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Itu pula sebabnya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Muladi, menegaskan doktrin atau adagium societas delinquere non potest sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Doktrin ‘a legal entity cannot be blameworthy’ itu adalah warisan Revolusi Perancis yang bermakna korporasi tak punya kapasitas untuk dipersalahkan dan dimintai tangggung jawab. Korporasi itu hanyalah fiksi (artificial person); tak memiliki mens rea untuk melakukan kejahatan.

Tetapi, seperti kata Prof. Muladi, doktrin itu tak dapat lagi dipertahankan. Ia sudah usai, terutama dipicu oleh semakin meningkatnya berbagai tindak pidana ekonomi berat dengan akibat yang luas. Korban kejahatan itu dapat berupa negara, perusahaan saingan, karyawan, bahkan konsumen dalam jumlah banyak. Sebut saja kejahatan lingkungan, yang dampaknya dapat dirasakan banyak pihak. Korban kejahatan korporasi sangat beragam.

Indonesia bukan tidak responsif mengantisipasi. UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi bisa dikualifikasi sebagai langkah penting. Tetapi harus diakui, penerapan pertanggungjawaban pidana korupsi yang masuk ke pengadilan masih terbilang dengan jari. Barulah belakangan, semangat untuk membidik korporasi diperkuat regulasi. Di Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung No. 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Mahkamah Agung juga menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

(Baca juga: Pertanggungjawaban Pengurus dalam Tindak Pidana Korporasi).

Di dunia, banyak negara yang sudah mengakui konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Belanda bahkan sudah memasukkannya ke dalam KUH Pidana-nya sekak 1976, yakni melalui Pasal 51. Sebaliknya, masih ada negara yang mempertahankan doktrin societas delinquere non potest. Bahkan ada negara yang menganggap tanggung jawab korporasi sebagai bagian dari hukum administrasi. Di Jerman, misalnya, pertanggungjawaban korporasi diatur dalam Ordnungswidrigkeiten (OWiG), sama pengertiannya dengan Administrative Offences Act.

RUU KUHP

Bagaimana dengan KUHP Indonesia? Seminar Mahupiki 2019 sengaja mengambil tema kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Seminar ini banyak membahas materi RUU KUHP yang sudah dipersiapkan Pemerintah dan DPR. Prof. Muladi salah seorang anggota tim ahli RUU KUHP itu.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Hukumonline, ada beberapa pasal yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Pasal 52 mengatur bukan saja penegasan bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana, tetapi menyebutkan beberapa bentuk korporasi yang dapat dianggap sebagai subjek hukum. Selain perseroan terbatas, ada Yayasan, koperasi, BUMN/BUMD atau yang disamakan dengan itu, perkumpulan. Bahkan meliputi pula firma dan persekutuan komanditer (CV).

Selanjutnya, Pasal 53 RUU KUHP menegaskan tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korprasi atau bertindak demi kepentingan korporasi. Hubungan orang tersebut dengan korporasi dapat berupa hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi.

Pasal 130 RUU menegaskan pidana bagi korporasi terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokoknya adalah pidana denda. Pidana tambahannya banyak mulai dari pembayaran ganti rugi sampai kemungkinan pembubaran korporasi.

Dalam Perma No. 13 Tahun 2016, tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama  yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam atau di luar lingkungan korporasi.

Menurut Prof. Muladi, kecenderungan universal untuk mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum dan menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan refleksi kebijakan untuk meningkatkan peram instrumental hukum pidana untuk menanggulangi berbagai tindak pidana berat.

Karena itu, kalangan praktisi hukum akan melihat satu per satu korporasi dimintai tanggung jawab hukum. Ketika doktrin societas delinquere non potest itu tak dapat dipertahankan lagi, maka satu persatu korporasi akan berurusan dengan hukum.

Tags:

Berita Terkait