Ketidakpastian Hukum Cegah Investor Migas Masuk
Berita

Ketidakpastian Hukum Cegah Investor Migas Masuk

Potensi besar Indonesia sebagai produsen Minyak dan Gas jelas diakui. Tapi, tetap saja investor enggan masuk.

M-3
Bacaan 2 Menit
Ketidakpastian Hukum Cegah Investor Migas Masuk
Hukumonline

Bisnis Minyak dan Gas Bumi (Migas) memang bukan main-main. Resikonya luar biasa tinggi sehingga pada tahap ekplorasi tidak ada bank yang berani memberikan kredit. Para pembicara di ALSA's Oil and Gas Week satu suara soal itu meski berasal dari pihak-pihak yang bersebrangan. Baik Pertamina dan Exxon Mobil sebagai pemain, BP Migas sebagai pengawas, dan Direktorat Jenderal Migas sebagai regulator. Semuanya mengamini hal itu.

 

Tapi dengan potensi yang besar, resiko seharusnya otomatis berkurang. Menambang di Indonesia punya kemungkinan 10% mendapat minyak. 10%! Di tempat lain 2 atau 3% saja sudah bagus, seru TN Mahmud, mantan CEO ARCO di depan peserta Seminar Potensi dan Investasi Migas di Indonesia, di Universitas Indonesia, Depok beberapa waktu lalu. Potensi Indonesia yang demikian besar sudah tergambar. Namun tetap saja, tidak banyak yang bersedia terjun untuk mengeksplor.

 

Ternyata ada banyak faktor yang membuat para investor 'takut' untuk berinvestasi ke Indonesia. Penghentian proyek di tengah-tengah adalah salah satunya. Masih hangat dalam ingatan kita soal Kasus Karaha Bodas Company (KBC).

 

Pada 28 November 1994, ditandatangani dua kontrak antara Pertamina dan KBC untuk pengembangan lapangan panas bumi dan kontrak penjualan energi. PLN akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan. Tapi kemudian, pemerintah mengeluarkan Keppres No.39 Tahun 1997 yang isinya menunda beberapa proyek pembangunan termasuk proyel PLTP Karaha Bodas. Akibat penundaan tersebut, KBC melayangkan gugatan ke Arbitrase Internasional di Swiss.

 

Sekarang, Exxon Mobil di Blok D-Alpha Natuna juga terancam dihentikan produksinya oleh pemerintah, dalam hal ini BP Migas walaupun untuk alasan yang berbeda. Menurut Pemerintah kontrak Exxon sudah kadaluarsa. Tapi menurut pihak Exxon, Pasal 2.2 kontrak section II antara pemerintah dan ExxonMobil menyebutkan ExxonMobil harus menyampaikan komitmen sebelum berakhirnya masa 10 tahun sejak 9 Januari 2005. Exxon telah menyatakan komitmennya sehingga kontrak masih berlaku sampai kurang lebih 2008. Jika Exxon benar, maka pemerintah Indonesia terancam kewajiban membayar ganti rugi sesuai Basic Agreement PSC Natuna D-Alpha.

 

Dua kasus ini sangat diperhatikan oleh investor asing, jangan sampai setelah menanamkan banyak uang harus pulang dengan tangan hampa. Kontrak yang disepakati seharusnya sanggup memberikan rasa aman yang cukup bagi para investor.

 

Bahkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengakui bagusnya Production Sharing Contract yang didraf oleh Indonesia. Awal Indonesia masuk ke industri Migas perjanjiannya masih kurang bagus, kadang berat sebelah. Tapi generasi tahun 80-an sudah cukup bagus. Namun tetap perlu pengecekan terms and conditions-nya, ujar Prof Hikmahanto.

 

Edy Hermantoro, Kasubdit Penyiapan Program, Direktorat Pembinaan Program, Dirjen Migas juga setuju dengan pendapat Prof Hikmahanto. Atas dasar itu, Edy percaya diri kalau kasus Exxon tidak akan berakhir seperti KBC. Berpegang dengan kontrak yang ada, Jangka waktunya (kontrak Exxon-red) sudah benar-benar habis, komentarnya. Alan Panggabean, dari BP Migas menambahkan. Kalau dia (Exxon-red) tidak mengajukan term baru yang lebih menguntungkan, ya tidak diperpanjang, komentarnya.

 

Fiscal Terms juga Tidak Pasti

Selain kontrak, investor juga ragu-ragu melihat ketentuan pajak PSC yang tidak selalu konsisten dengan pemahaman murni dalam UU No. 44 Prp 1960. Pada dasarnya kewajiban dan pungutan negara telah termasuk dalam penyerahan migas ke negara melalui Pertamina atau sekarang BP Migas. Tapi kemudian, untuk mengakomodasi kontraktor Amerika yang terbentur kewajiban lapor pajak, penyerahan kepada negara dibagi menjadi dua; government entitlement dan pajak.

 

Kemudian, setelah disahkannya UU PPh terjadi deviasi yang makin membingungkan. Pengertian Production Sharing berubah menjadi Profit Sharing dan setiap tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk apapun dikenai pajak. Pengaturan perpajakannya otomatis berubah menjadi kasusistis, berbeda-beda pada masing-masing kontraktor. Antara lain: pengenaan, penangguhan, dan pencabutan atas PPN pada masa eksplorasi; penunjukan, pencabutan, dan penunjukan kembali kotraktor kontrak perjanjian kerja sama; pergeseran dasar pengenaan pajak; dan masih banyak lagi.

 

Dalam masa transisi ke UU No. 22 tahun 2001 isu-isu seperti pacta sunt servanda, pembedaan fasilitas perpajakan dan kepabeanan terhadap kontrak, dan pemberian fasilitas tahunan dan tidak melekat pada kontrak bergulir. Setelah akhirnya UU No. 22 Tahun 2001 disahkan, penerimaan negara tetap dibagi dua; pajak dan bukan pajak. Pajak berupa pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; bukan pajak berupa bagian negara, pungutan iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus-bonus.

 

Tapi sementara itu, tetap tidak ada perubahan substansial kalusul perpajakan sebelum UU No. 22 Tahun 2001 dan sesudahnya. Kontraktor tetap berkewajiban  menanggung Corporate Tax dan Branch Profit Tax. Lalu fiscal terms akan dinegosiasikan berdasarkan hasil setelah pengurangan pajak. Ketidakpastian ini merupakan kesepakatan dari ketidaksepakatan, jelas Sampe L. Purba, Kepala Dinas Perencanaan dan Anggaran Bidang Finansial Ekonomi dan Pemasaran BPMigas.

 

Untuk meningkatkan partisipasi BUMD, undang-undang menyiapkan 10% working interest tapi tidak secara cuma-cuma. BUMD yang tertarik sayangnya harus ikut serta menanggung 10% biaya yang dikeluarkan kontraktor selama masa eksplorasi dan biaya yang akan datang. Jadi tidak sekedar mendapatkan 10% dari keuntungan sehingga diperlukan kemampuan pendanaan yang besar. Masalahnya, BUMD memiliki banyak keterbatasan dalam pendanaan.

 

Jadi kewajiban untuk menawarkan participating interest kepada BUMD dahulu sering kali lebih merupakan beban bagi kontraktor, simpul Pudji W. Purbo, pengacara dari kantor hukum Makarim dan Taira S.
Tags: