Ketidakpastian Hukum Cegah Investor Migas Masuk
Berita

Ketidakpastian Hukum Cegah Investor Migas Masuk

Potensi besar Indonesia sebagai produsen Minyak dan Gas jelas diakui. Tapi, tetap saja investor enggan masuk.

M-3
Bacaan 2 Menit

 

Dua kasus ini sangat diperhatikan oleh investor asing, jangan sampai setelah menanamkan banyak uang harus pulang dengan tangan hampa. Kontrak yang disepakati seharusnya sanggup memberikan rasa aman yang cukup bagi para investor.

 

Bahkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengakui bagusnya Production Sharing Contract yang didraf oleh Indonesia. Awal Indonesia masuk ke industri Migas perjanjiannya masih kurang bagus, kadang berat sebelah. Tapi generasi tahun 80-an sudah cukup bagus. Namun tetap perlu pengecekan terms and conditions-nya, ujar Prof Hikmahanto.

 

Edy Hermantoro, Kasubdit Penyiapan Program, Direktorat Pembinaan Program, Dirjen Migas juga setuju dengan pendapat Prof Hikmahanto. Atas dasar itu, Edy percaya diri kalau kasus Exxon tidak akan berakhir seperti KBC. Berpegang dengan kontrak yang ada, Jangka waktunya (kontrak Exxon-red) sudah benar-benar habis, komentarnya. Alan Panggabean, dari BP Migas menambahkan. Kalau dia (Exxon-red) tidak mengajukan term baru yang lebih menguntungkan, ya tidak diperpanjang, komentarnya.

 

Fiscal Terms juga Tidak Pasti

Selain kontrak, investor juga ragu-ragu melihat ketentuan pajak PSC yang tidak selalu konsisten dengan pemahaman murni dalam UU No. 44 Prp 1960. Pada dasarnya kewajiban dan pungutan negara telah termasuk dalam penyerahan migas ke negara melalui Pertamina atau sekarang BP Migas. Tapi kemudian, untuk mengakomodasi kontraktor Amerika yang terbentur kewajiban lapor pajak, penyerahan kepada negara dibagi menjadi dua; government entitlement dan pajak.

 

Kemudian, setelah disahkannya UU PPh terjadi deviasi yang makin membingungkan. Pengertian Production Sharing berubah menjadi Profit Sharing dan setiap tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk apapun dikenai pajak. Pengaturan perpajakannya otomatis berubah menjadi kasusistis, berbeda-beda pada masing-masing kontraktor. Antara lain: pengenaan, penangguhan, dan pencabutan atas PPN pada masa eksplorasi; penunjukan, pencabutan, dan penunjukan kembali kotraktor kontrak perjanjian kerja sama; pergeseran dasar pengenaan pajak; dan masih banyak lagi.

 

Dalam masa transisi ke UU No. 22 tahun 2001 isu-isu seperti pacta sunt servanda, pembedaan fasilitas perpajakan dan kepabeanan terhadap kontrak, dan pemberian fasilitas tahunan dan tidak melekat pada kontrak bergulir. Setelah akhirnya UU No. 22 Tahun 2001 disahkan, penerimaan negara tetap dibagi dua; pajak dan bukan pajak. Pajak berupa pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai; bukan pajak berupa bagian negara, pungutan iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, serta bonus-bonus.

 

Tapi sementara itu, tetap tidak ada perubahan substansial kalusul perpajakan sebelum UU No. 22 Tahun 2001 dan sesudahnya. Kontraktor tetap berkewajiban  menanggung Corporate Tax dan Branch Profit Tax. Lalu fiscal terms akan dinegosiasikan berdasarkan hasil setelah pengurangan pajak. Ketidakpastian ini merupakan kesepakatan dari ketidaksepakatan, jelas Sampe L. Purba, Kepala Dinas Perencanaan dan Anggaran Bidang Finansial Ekonomi dan Pemasaran BPMigas.

Tags: