Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?
Kolom

Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?

Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya.

Bacaan 2 Menit
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa

Lagi-lagi Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menelan korban. Kali ini Meliana, seorang warga Tanjung Balai, Sumatera Utara dipidana 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan lantaran wanita ini “protes” soal pengeras suara masjid yang dinilai terlalu keras.

 

Kasus Meliana menambah daftar panjang korban pasal karet ini. Beberapa kasus penodaan agama lain yang juga cukup menarik perhatian publik di antaranya adalah kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) (2015), Tajul Muluk, (2012) dan Lia Eden (2006).

 

Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

 

Beberapa persoalan mendasar yang kemudian muncul dari rumusan pasal tersebut adalah :

  1. Apa yang dimaksud dengan penodaan agama? Baik KUHP maupun UU No.1/PNPS/1965 tidak memberikan penjelasan mengenai kriteria apa saja yang harus terpenuhi untuk dapat mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai penodaan agama. Apa yang dianggap seseorang menodai agama belum tentu dianggap orang lain sebagai penodaan.
  2. Bagaimana cara membuktikan penodaan agama? Lebih jauh lagi, siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan penodaan agama telah terjadi mengingat masing-masing ahli agama boleh jadi berbeda pendapat?

 

Salah satu asas fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas. Dalam hukum pidana Indonesia, asas tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Dengan mengacu pada ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan seseorang hanya bisa dipidana apabila pada saat perbuatan dilakukan, undang-undang telah menyatakan bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan sanksi pidana.

 

Secara filosofis, asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam 3 asas penting yang merupakan turunannya, yaitu :

  1. Lex scripta, yaitu hukum pidana yang berlaku di negara kita merupakan hukum tertulis. Namun demikian, hukum pidana adat yang merupakan hukum tidak tertulis tetap diberi ruang untuk diberlakukan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang asalkan memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
  2. Non retroaktif, yaitu hukum pidana yang berlaku di negara kita tidak dapat diberlakukan surut. Dengan kata lain, hukum pidana yang diberlakukan adalah hukum pidana yang sudah ada pada saat tindak pidana dilakukan (lex temporis delicti). Keberlakuan asas ini secara kasuistis dapat disimpangi apabila pada saat proses hukum terhadap suatu perkara tengah berlangsung terjadi perubahan aturan dan perubahan tersebut menguntungkan terdakwa. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP. Pengecualian terhadap asas ini juga dapat ditemukan, misalnya dalam kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat (gross violation of human rights).
  3. Non analogi, yaitu penafsiran secara analogis tidak boleh digunakan dalam menafsirkan hukum pidana. Analogi yang dimaksud disini adalah ketika suatu perbuatan yang sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang kemudian dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilarang sehingga pelakunya menjadi dapat dihukum. Prinsip non analogi ini erat kaitannya dengan prinsip bahwa hukum pidana harus relatif jelas (lex certa).

 

Hukum pidana memiliki kekhasan apabila dibandingkan dengan hukum-hukum lain. Kekhasan yang paling menonjol adalah sanksi berupa penderitaan yang bersifat khusus melalui pembatasan bahkan perampasan kemerdekaan yang memang tidak dikenal dalam bidang hukum lain. Hal ini terlihat jelas dari jenis-jenis pidana yang dijatuhkan, terutama pidana penjara dan pidana mati. Sebagai konsekuensi logis dari karakteristik tersebut, prinsip ultimum remedium (subsidiaritas) yang menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir harus secara konsisten diterapkan.

 

Dalam kaitannya dengan asas legalitas sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana, dalam asas tersebut terkandung prinsip bahwa hukum pidana harus relatif jelas (lex certa). Hal ini sangat erat kaitannya dengan penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang dalam rangka memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia, terhindar dari kesewenang-wenangan (subjektivitas) penguasa dan tentunya demi terciptanya kepastian hukum dan keadilan sebagai cita-cita tertinggi.

 

Kembali ke persolan mendasar dalam Pasal 156 huruf a KUHP sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, ketidakjelasan kriteria penodaan agama jelas bertentangan dengan asas lex certa sebagai bagian dari asas legalitas. Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya.

 

Dalam praktik penegakan hukum, ketidakjelasan ini terlihat dari tindakan penyidik, penuntut umum maupun majelis hakim yang mencampuradukkan ketentuan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 dan Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 (Pasal 156 huruf a KUHP). Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan : “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

 

Apabila ditelusuri, yang dilarang dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 adalah penafsiran atau kegiatan agama yang menyimpang. Sementara Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 (Pasal 156 huruf a KUHP) melarang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Dalam kasus Lia Eden misalnya, majelis hakim menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP karena telah melakukan penyebaran paham agama yang dianggap menyimpang.

 

Tindakan demikian seharusnya dijerat Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, bukan Pasal 156 huruf a KUHP. Lebih jauh lagi, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan peringatan atau pembubaran sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang-undang yang sama yang berbunyi :

  1. Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
  2. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

 

Pada praktiknya ketidakpastian proses hukum kembali terlihat ketika dalam satu kasus pelaku diberikan peringatan terlebih dahulu, sementara dalam kasus lain proses hukum terhadap pelaku langsung dilakukan.

 

Dalam perkembangannya, pengaturan penodaan agama ini ternyata juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 59 ayat 3 jo. Pasal 82 ayat 2 UU No. Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

 

Sementara itu, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2016) tidak secara spesifik mengatur larangan penodaan agama, namun secara implisit hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 undang-undang itu yang berbicara mengenai penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kedua aturan tersebut juga tidak menjelaskan kriteria penodaan agama.

 

Persoalan lain yang juga seringkali muncul berkenaan dengan pasal ini adalah pihak yang merasa tersinggung karena menganggap agamanya dinodai kemudian melakukan penyebaran fitnah dan berita bohong. Di era digital di mana informasi bergerak sangat cepat, kabar tidak benar tersebut langsung tersebar luas dan persoalan menjadi semakin mengkhawatirkan. Intimidasi, ujaran kebencian (hate speech) yang berujungpersekusi hingga tindakan main hakim sendiri pun dilakukan terhadap orang atau kelompok yang dianggap telah melakukan penodaan agama. Pada akhirnya proses hukum pun berada di bawah tekanan massa.

 

Secara historis, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang kemudian ditetapkan sebagai UU ini dibentuk dalam keadaan darurat untuk menertibkan aliran-aliran yang menjadi ancaman revolusi. Dalam kondisi saat ini, Penetapan Presiden tentang Pencegahan Penodaan Agama ini dianggap tidak relevan untuk tetap dipertahankan.

 

Judicial review (uji material) terhadap ketentuan pasal ini telah pernah bebarapa kali dilakukan, namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 menolak permohonan tersebut. Sementara itu, Indonesia sendiri telah meratifikasi International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 15 Tahun 2015.

 

Mengacu pada ICCPR, pasal penodaan agama seharusnya dihapuskan karena selain bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, kehadiran pasal tersebut juga melanggar kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 ICCPR.

 

Terkait Rancangan KUHP yang proses pembahasannya tengah bergulir, Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan kembali perumusan delik pasal ini di dalam Rancangan karena pada praktiknya ketidakjelasan kriteria penodaan agama yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip lex certa ini sangat rentan digunakan untuk mengkriminalisasi.

 

*)Nefa Claudia Meliala adalah Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait