Ketidakadilan Sistem Pengadilan di Indonesia
Kolom

Ketidakadilan Sistem Pengadilan di Indonesia

​​​​​​​Hakim memiliki dua sisi mata uang yang dapat muncul dalam waktu yang bersamaan, akan tetapi ia dapat mengontrolnya dengan memunculkan satu sisi mata uang yang berdasarkan moral dalam memutus perkara.

Bacaan 2 Menit
Chandra Yusuf. Foto: Dokumen Pribadi
Chandra Yusuf. Foto: Dokumen Pribadi

Sistem hukum yang adil dapat dilihat di dalam sistem pengadilannya. Apakah pengadilan di Indonesia telah memutus perkara secara adil? Dalam kenyataannya, keadilan yang seharusnya diungkapkan dengan perlakuan yang sama terhadap para pihak di pengadilan belum mencapai tujuan. Pastinya, keadilan yang ditegakkan tidak berdasarkan moral yang mempengaruhi masyarakatnya.

 

Jae Allen dalam artikel berjudul  “weaknesses of the criminal justice system” menyebutkan beberapa kelemahan dari sistem pengadilan Amerika yang membuat para pihak tidak setara, yakni adanya tumpukan perkara yang terlalu besar (overburden), adanya bias ekonomi sosial (socio economic bias) dan bias rasial (racial bias) yang besar.

 

Banyak sekali kasus di masyarakat yang memperlihatkan ketidakadilan tersebut, antara lain putusan hakim yang dibuat secara tidak adil dengan pertimbangan yang berat sebelah karena hakim tidak memiliki waktu untuk mendalami perkara sehingga ia hanya memilih argumen pengacara pihak yang dimenangkan, putusan hakim yang memberatkan si miskin karena ia tidak dapat membela diri karena keadaan ekonomi, putusan hakim berdasarkan perbedaan ras yang mungkin tidak terlihat ketidakadilannya.

 

Kelemahan Sistem Pengadilan

Apabila ketiga kelemahan tersebut dirujuk ke sistem pengadilan di Indonesia, maka kelemahan sistem pengadilan di Amerika tersebut juga berada di dalam tubuh sistem pengadilan di Indonesia. Permasalahan yang timbul di kedua negara adalah permasalahan yang universal. Orang yang berperkara di pengadilan setiap tahunnya akan betambah besar jumlahnya secara kumulatif. Sementara kemampuan institusinya untuk menyelesaikan perkara sangat minim.

 

Di Indonesia, tunggakan tumpukan perkara sebesar 1.571 perkara. Hal tersebut telah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 2.357 perkara (Agus Sahbani, “MA Berhasil Kikis Tumpukan Perkara”, Hukumonline, Selasa, 01 Maret 2016). Namun penyelesaian perkara yang sedemikian besar jumlahnya akan mempengaruhi putusan hakim dalam perkaranya. Apabila hakim di MA tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup, hakim akan mengejar target kuantitas putusan dengan mengorbankan kualitas putusan. Hakim dalam membuat keputusan tidak dapat mendalami kasusnya secara rinci.

 

Richard Posner menyebutkan bahwa hakim lebih sering mengikuti argumen salah satu pengacara yang berperkara. Tentunya hakim tersebut tidak mendasarkan putusannya kepada peristiwa kongkrit secara akurat. Ia akan menggunakan alas pertimbangan yang berat sebelah dalam putusannya.

 

Adapun orang yang berperkara memiliki kekayaan yang berbeda di dalam masyarakat. Ia dengan kekayaannya dapat menyewa pengacara yang profesional. Kesenjangan ekonomi sosial, yang dikenal sebagai pisau dengan matanya, "tajam kebawah tumpul keatas". Terdakwa dapat menyewa pengacara yang terkenal, karena ia memiliki uang yang cukup. Keterkenalan pengacara dan kekuasaan atau pangkat terdakwanya dapat mempengaruhi keberpihakan hakim dari sudut psikologis.

 

Selain itu perkara pidana memiliki sanksi kurungan dan denda. Penerapan sanksi denda terhadap kasusnya akan memperberat terdakwa miskin yang tidak mampu membayarnya. Dalam kasus Nenek Asyani, ia divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan karena ia mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur (Liputan 6, “Nenek Asyani Terdakwa Pencuri Kayu Divonis 1 Tahun Penjara”, 23 April 2015). Perbedaan ekonomi sosial menimbulkan ketidakadilan bagi si miskin di dalam sistem pengadilan di dalam sistem ekonomi yang memiliki kebebasan untuk dapat memperkaya dirinya.

 

Perasaan ras yang timbul sebagai orang yang dilahirkan dan  memiliki tanah air dari turunannya membuat kelompok yang fanatik. Hal ini tidak dapat dihapuskan dari masyarakat melalui sistem yang demokratis sekalipun. Perbedaan ras sering mempengaruhi putusan hakim dan tentunya hal tersebut merugikan terdakwa dari ras golongan tertentu, misal orang kulit hitam di Amerika. Hakim akan terpengaruh dengan pelabelan ras kulit hitam yang memiliki catatan kriminal yang dilakukan oleh anak muda kulit hitam.

 

Pelabelan atas ras tersebut membuat hakim memiliki penilaian subjektif. Hakim telah bersikap "prejudice" terlebih dahulu. Hal ini merugikan terdakwa kulit hitam yang memiliki perkara dan mengalami pembiasan perkara di pengadilan. Pembiasan perkara yang terjadi karena sudut pandang subjektif dalam mempertimbangkan putusan dendanya. Demikian pula halnya dengan penduduk ras minoritas di Indonesia. Mereka akan mengalami perlakuan yang berbeda dari penduduk aslinya.

 

Hakim akan menyangkal pernyataan ketidakadilan tersebut di atas. Hal ini akan berlaku sampai akhir zaman. Keadilan tidak pernah menjadi tujuan dari sistem pengadilan di Indonesia. Keadilan hanya dapat dijangkau dengan kesamaan perlakuan (fairness), baik dari peraturannya maupun dari keadaan di luar proses pengadilan. Perlakuan yang sama dapat menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama di depan pengadilan.

 

Keadilan dan Wilayah Pribadi

Nyatanya, dalam keadaan pengadilan yang telah transparan sekalipun terdapat wilayah kosong. Wilayah yang dalam gerhana matahari disebut “penumbra”. Wilayah yang tidak dalam poros antara bumi bulan dan matahari. Sudut pandang yang tidak masuk dalam porosnya tidak melihat gerhana matahari secara penuh. Inilah kekosongan wilayah yang tidak tertutupi. Seseorang yang berada di dalam posisi yang demikian tidak terkena “umbra” yang tertutupi. Hal ini dapat dijadikan perumpamaan dalam hakim membuat putusan di pengadilan. Putusan yang diambil berdasarkan peraturan yang sah dan putusan yang diambil dalam wilayah pribadinya.

 

Umbra dianggap sebagai hukum positif. Di dalam putusannya, hakim akan merujuk dan menggunakan peraturan yang sah. Sistem hukum yang demikian menganut aliran hukum positif. John Austin dalam bukunya yang berjudulThe Province of Jurisprudence Determined” menyatakan tentang sumber hukum bahwa isi hukum dan keberadaannya tergantung kepada fakta sosial, bukan moral yang berasal dari Tuhan (merit).

 

Ketidakadilan yang terjadi di dalam peraturan dapat dikesampingkan dan hakim tetap dapat menggunakan peraturannya. Putusan hakim yang telah dibuat tersebut telah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan yang sah. Dengan kata lain, peraturan dianggap telah mengungkapkan keadilan bagi semua pihak yang berperkara.

 

Penumbra sebagai wilayah kosong. Wilayah pribadi dalam menentukan peraturan yang digunakan tidak terjamah oleh peraturan yang sah sekalipun. Hakim dengan ketetapan hatinya dapat memilih peraturan yang digunakan. Ketetapan hatinya dapat terbentuk karena pengetahuan dan moral yang dimilikinya. Ia dapat memilih peraturan dan memutus perkara dengan sanksi yang maksimal, tetapi ia juga dapat memilih peraturan dan memutus perkara dengan sanksi yang minimal.

 

Penyelesaiannya berada di wilayah pribadi hakim yang memutus perkara. Dalam hal ini, moral menjadi dasar keadilan dari putusan hakim. Moral dianggap sebagai dasar yang objektif untuk memutus perkara. Namun wilayah moral pribadi dapat juga terisi dengan putusan immoral, sehingga hakim membuat putusan yang berpihak (favorable). Ia memilih pertimbangan yang berat sebelah.

 

Kesimpulannya, hakim memiliki dua sisi mata uang yang dapat muncul dalam waktu yang bersamaan, akan tetapi ia dapat mengontrolnya dengan memunculkan satu sisi mata uang yang berdasarkan moral dalam memutus perkara.

 

*)Dr. Chandra Yusuf, SH., LLM., MBA., MMgt adalah praktisi hukum dan dosen di Universitas Yarsi.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait