Penyidik harus bertanggungjawab terhadap hal bersifat teknis. Selain sanksi administratif, dapat pula dikenakan sanksi pidana, karena aparat melanggar hukum acara pidana.
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan terhadap penyidik atau pejabat yang layak dimintakan pertanggungjawaban, maka mesti diberika sanksi administratif. Bahkan bila perlu sanksi pidana. Menjadi pertanyaan, pasca SP3 15 perusahaan, terdapat pejabat Polda Riau yang kongkow dengan pengusaha sawit di sebuah tempat makan.
Anggota Panja Kahurla lainnya Masinton Pasaribu mengatakan penegakan hukum yang dilakukan secara tidak profesional berujung terhadap ketiadaan keadilan masyarakat. Ia meminta pejabat bersankutan diganti dan diberikan sanksi. Bahkan dicopor dari jabatannya. Bila perlu, kata Masinton, diseret melalui tindakan hukum.
“Supaya penegakan hukum kita tidak ecek-ecek, tidak dipermainkan. Bukan hanya Kapolda sebelumnya yang perlu kita panggil, kalau perlu Kapolri danKabareskrim juga kita pangil berikutnya penyidiknya,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu dalam rapat kerja (Raker) dengan Jaksa Agung Selasa (26/9) kemarin sempat menyentil soal SPDP penyidikan kasus Kahurla yangs udah dihentikan penyidikannya. Jaksa Agung HM Prasteyo mendengar dihentikan penyidikan terhadap 15 perusahaan mengaku terbelalak. Pasalnya dari 15 perusahaan yang dihentika penyidikannya, kejaksaan hanya mendapat 3 SPDP.
“Soal SPDP, memang dari tiga perkara yang di SP3 kan. Sedangkan dua belas perkara memang belum diterbitkan SPDP. Kenapa belum, karena penyidik menetapkan tersangkanya.”