Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Sebagai Agent of Change
Melek Pemilu 2024

Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Sebagai Agent of Change

Agent of change yang dimaksud adalah aktif memberi peningkatan pemahaman masyarakat tentang calon legislatif dan isu-isu berpengaruh yang berorientasi kepada partisipatif masyarakat rentan.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit
Researcher News Hukumonline, Siska Trisia.
Researcher News Hukumonline, Siska Trisia.

Penelitian Hukumonline pada November 2023 menunjukkan total 9.923 jumlah calon legislatif dari 84 jumlah dapil keseluruhan di 38 provinsi. Dari total tersebut, calon legislatif sarjana hukum sejumlah 1.024 yang di antaranya perempuan hanya sebanyak 20,41% dari persentase caleg sarjana hukum keseluruhan yaitu 10,32%.

Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa komposisi penyelenggaraan Pemilu harus melibatkan keterwakilan perempuan minimal 30%. Hak politik keterwakilan perempuan dalam sistem Pemilu proporsional representatif pada pemilihan anggota legislatif memenuhi prinsip inklusi. Disamping itu, proporsional representasi juga memberikan kesempatan bagi semua partai untuk memaksimalkan keseluruhan suara yang didapatkan.

Sistem ini memberikan kesempatan yang sama untuk tiap-tiap kandidat baik pria maupun wanita. Pemberian sanksi kepada partai yang tidak memenuhi syarat minimal 30% keterwakilan perempuan sebagai peserta Pemilu akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi keterwakilan perempuan di Parlemen. 

Baca Juga:

“Peran perempuan dalam Pemilu 2024 secara langsung adalah terjun ke dunia politik sebagai salah satu kandidat yang berlaga untuk mendapatkan kursi legislatif daerah atau pusat. Sedangkan secara tidak langsung adalah sebagai agent of change,” ujar Researcher News Hukumonline, Siska Trisia dalam webinar online, Rabu (29/11) kemarin.

Agent of change yang dimaksud adalah aktif memberi peningkatan pemahaman masyarakat tentang calon legislatif dan isu-isu berpengaruh, membuat kegiatan yang berorientasi kepada partisipatif masyarakat rentan, riset dan advokasi perubahan kebijakan level-makro, dan kolaborasi bersama pihak/lembaga terkait.

Ia melanjutkan untuk itu perlu memetakan calon legislatif, calon presiden maupun calon wakil presiden dengan kesadaran penuh agar yang berkembang di masyarakat dapat menentukan pilihan yang benar-benar baik bukan hanya karena diimingi-imingi oleh materi tertentu.

Dari jumlah keterwakilan perempuan di calon legislatif saat ini, belum tentu semuanya memahami kajian dan pemahaman mengenai isu gender di masyarakat. Jumlah yang sedikit tersebut semakin sedikit jumlahnya terkait pemahaman ruang isu gender.

“Mengikuti Pemilu itu bersifat jangka panjang bukan alasan konsumtif semata. Kita perlu banyak anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden yang fokus terhadap ketimpangan gender di Indonesia,” kata dia.

Ketika masyarakat mampu menentukan pilihan secara tepat, maka akan memperbaiki kualitas dari aparatur negara dengan kebijakan atau kegiatan yang dihasilkan untuk masyarakat bisa berdampak dan dirasakan oleh masyarakat khususnya pada isu-isu rentan seperti isu gender.

“Sebagai anak muda kita dapat memilih dan memilah profil calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden yang menawarkan program kerja untuk menjawab hal-hal terkait isu ketimpangan gender ini,” ujarnya.

Pada pemilihan umum 2024 di bulan Februari mendatang, diketahui pemilih muda akan mendominasi menjadi pemilih, dan tidak sedikit dari mereka yang baru pertama kali memilih. 

Untuk itu, Siska mendorong untuk memanfaatkan media sosial sebagai tren yang dapat menyematkan pesan yang menjadi media komunikasi untuk mengadvokasi politik yang ditawarkan oleh calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden khususnya terhadap isu gender.

Tags:

Berita Terkait