Keterbukaan Informasi BPOM pada Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Dinilai Minim
Terbaru

Keterbukaan Informasi BPOM pada Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Dinilai Minim

Berdasarkan UU Keterbukaan Informasi, badan publik yang mengetahui informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus mengumumkan informasi tersebut, kalau tidak bisa kena pidana .

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Acara Instagram Headline Talks bertema Kasus Gagal Ginjal Akut, Upaya Hukum Apa yang Bisa Ditempuh Konsumen?. Foto: WIL
Acara Instagram Headline Talks bertema Kasus Gagal Ginjal Akut, Upaya Hukum Apa yang Bisa Ditempuh Konsumen?. Foto: WIL

Kasus gagal ginjal akut yang menyerang banyak anak dalam kurun waktu dua bulan terakhir telah mencapai hingga 200 lebih kasus. Penyebab utama kasus gagal ginjal akut pada anak hingga hari ini masih terus diteliti yang dugaan sementaranya adalah akibat efek samping obat sirup yang mengandung zat etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butyl ether.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing, melihat adanya fungsi dan wewenang yang dimiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lebih menjadikan BPOM sebagai badan pendaftar obat dan makanan, bukan sebagai badan pengawas obat dan makanan.

“Pada kasus ini, BPOM itu kan punya sistem pengawasan pre-market dan post-market. Pre-market itu bukan artinya hanya pengecekan apakah benar di dalam suatu obat ada kandungan tertentu, bukan begitu. Di sini BPOM terlihat hanya menerima saja pendaftaran produksi obat oleh produsen sesuai dengan registrasi data yang diberikan produsen obat,” ungkapnya dalam acara Instagram Headline Talks Hukumonline, Kamis (3/11).

Baca Juga:

David menemukan fakta bahwa BPOM tidak lagi pengawas obat tetapi badan pendaftar obat dan makanan, karena pada waktu registrasi semua diserahkan ke produsen untuk mengisi data yang menyatakan bahwa produsen mematuhi sesuai sertifikasi dan cara pembuatan obat.

“Tetapi faktanya ketika obat telah beredar, itu tidak diawasi lagi oleh BPOM. Jika melihat daftar yang diberikan BPOM terkait surat izin, ada izin edarnya lima tahun lalu yang selama obat itu beredar lima tahun tidak ada lagi pengecekan oleh BPOM,” tuturnya.

Hal yang diucapkan David ini berbanding terbalik dengan sistem pengawasan yang dimiliki oleh BPOM. BPOM sendiri memiliki sistem pengawasan obat dan makanan yang mencakup pengawasan pre-market dan post-market. Sistem itu terdiri dari:

1. Standarisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar, regulasi, dan kebijakan terkait dengan pengawasan obat dan makanan. Standarisasi dilakukan terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standar yang mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standar tersendiri.

2. Penilaian pre-market merupakan evaluasi produk sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan agar produk yang memiliki izin edar berlaku secara nasional.

3. Pengawasan post market atau pengawasan setelah beredar difungsikan untuk melihat konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan dengan melakukan sampling produk obat dan makanan yang beredar, serta pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan makanan, pemantauan farmakovigilan dan pengawasan label dan iklan. Pengawasan post market dilakukan secara nasional dengan terpadu, konsisten, dan terstandar.

4.Pengujian laboratorium dilakukan guna mengetahui apakah obat dan makanan telah memenuhi syarat keamanan, manfaat, dan mutu.

5. Penegakan hukum di bidang pengawasan obat dan makanan didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, dan investigasi awal. Proses penegakan hukum akan berakhir pada sanksi administratif hingga hukum pidana.

“Setelah kejadian ini, tidak ada keterbukaan informasi dari awal oleh BPOM. Padahal berdasarkan UU Keterbukaan Informasi, badan publik yang mengetahui informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus mengumumkan informasi tersebut, kalau tidak bisa kena pidana,” jelas David.

Lebih lanjut, David mengemukakan yang dilakukan BPOM hanya mengumumkan sesuatu yang dinyatakan tidak menggunakan zat berbahaya, tetapi pernyataan tersebut bukan hasil dari data awal yang diberikan oleh produsen.

Kemudian terkait regulasi, David menyatakan sudah ada regulasi yang mengatur bagaimana produsen obat bisa memproduksi obat. Sebuah produsen obat ketika akan memproduksi harus melaporkan ke BPOM terkait bahan baku dan lain-lain.

Namun, David mengatakan prosedur itu tidak lebih lanjut diuji oleh BPOM, BPOM hanya membiarkan begitu saja yang akhirnya surat izin edar keluar dan produsen dapat memproduksi massal, lalu ketika surat izin expired, produsen tinggal daftar ulang dan tidak ada pengujian lagi.

“Jadi memang tidak ada BPOM menguji, kecuali ada pengawasan post market untuk kasus spesial seperti kosmetik atau pengawasan pada saat hari raya dan tahun baru. Tapi untuk kasus ini tidak ada pengujian yang dilakukan, padahal dalam melakukan pengawasan post market mereka harus melakukan pengujian,” ungkapnya.

Ketidakhadiran pengujian di awal inilah yang menurut David harus ada regulasi yang dibenahi. Karena saat ini BPOM tidak menguji sendiri tetapi meminta produsen untuk menguji lalu melaporkan hasil uji ke BPOM.

Tags:

Berita Terkait