Ketentuan tentang Wadah Tunggal Advokat Kembali Diuji
Utama

Ketentuan tentang Wadah Tunggal Advokat Kembali Diuji

Karena dianggap membatasi kebebasan advokat untuk berserikat.

IHW/M-9/ASh
Bacaan 2 Menit
MK sidangkan pengujian UU Advokat. Foto: Sgp
MK sidangkan pengujian UU Advokat. Foto: Sgp

Keberadaan wadah tunggal advokat kembali dipersoalkan. Kali ini bukan dengan pembentukkan organisasi baru lagi dan mengklaim diri sebagai satu-satunya wadah tunggal profesi advokat. Melainkan dengan menguji pasal dari UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur soal itu.

 

Adalah advokat senior Frans Hendra Winarta yang memohon pengujian UU Advokat itu ke Mahkamah Konstitusi. Ia meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 28 UU Advokat yang mengatur satu-satunya keberadaan organisasi advokat. Permohonan sudah didaftarkan pada 21 Oktober lalu.

 

Kepada hukumonline Frans menuturkan keberadaan aturan wadah tunggal itu hanya mengekang kebebasan para advokat untuk berserikat. Padahal, hak berserikat itu adalah salah satu hak asasi yang diakui oleh konstitusi. “Kalau hanya satu (organisasi) yang diakui, bertentangan dengan hak berserikat, bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945,” kata Frans lewat telepon.

 

Selain itu, Frans menunjukkan bahwa aturan wadah tunggal tak selaras dengan ketentuan internasional. Ia menunjuk salah satu konvensi internasional yang membolehkan keberadaaan lebih dari satu organisasi advokat dalam setiap yurisdiksi hukum. “Dan seorang advokat juga boleh menjadi anggota lebih dari satu organisasi advokat di jurisdiksinya.”

 

Frans sadar langkahnya menguji ketentuan wadah tunggal dalam UU Advokat ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pada 2006, tiga advokat senior Ikadin, Sudjono, Artono, dan Ronggur Hutagalung juga menguji Pasal 28 ini ke Mahkamah Konstitusi, namun ditolak.   

 

Untuk mengantisipasi agar nasib permohonannya tak serupa dengan permohonan Sudjono dkk, Frans mengaku membuatnya dengan lebih detil. “Tetapi kalau saya liat putusannya (permohonan Sudjono, red) dulu, alasannya kerugian konstitusional tidak dijelaskan dengan mendalam.”

 

Berdasarkan dokumen permohonan yang diperoleh hukumonline, ada sembilan orang yang bertindak sebagai pemohon. Mereka adalah Frans Hendra Winarta, Bob P. Nainggolan, Maruli Simorangkir, Murad Harahap, Lelyana Santosa, Nursyahbani Katjasungkana, David Abraham, Firman Wijaya dan S.F Marbun. Mereka masing-masing bertindak sebagai advokat dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Frans Hendra tercatat sebagai Ketua Umum Peradin.

 

Lebih lengkapnya Frans Hendra dkk meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 28 Ayat (1), Pasal 30 Ayat (2) dan Pasal 32 Ayat (4) UU Advokat. Sebab, dianggap bertentangan dengan kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat seperti yang diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.

 

Pasal 28 Ayat (1) berbunyi, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.

 

Sementara Pasal 30 Ayat (2) merumuskan kewajiban setiap advokat untuk menjadi anggota organisasi advokat. Sedangkan Pasal 32 Ayat (4) memberi batas waktu dua tahun sejak UU Advokat diberlakukan untuk membentuk organisasi advokat.

 

Selain meminta pembatalan tiga Pasal itu, Frans Hendra dkk meminta agar Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah dan DPR mengamandemen UU Advokat dengan memasukkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penyelenggaraan Munas Advokat paling lama tiga bulan sejak putusan dibacakan. Kedua, pembentukkan Dewan Etik Nasional untuk mengawasi advokat. Terakhir, mengalihkan kewenangan pendidikan khusus profesi advokat kepada Badan Sertifikasi Nasional.

 

Ne bis in idem

Terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menyatakan seyogianya Mahkamah Konstitusi tak menerima permohonan Frans Hendra cs. Soalnya, ketentuan yang diuji saat ini sudah pernah ditolak. “Seharusnya tidak bisa diajukan lagi,” kata Otto kepada hukumonline usai acara peringatan ulang tahun YLBHI ke-40 di Jakarta, pekan lalu.

 

Keberadaan Peradi sebagai wadah tunggal sesuai UU Advokat, lanjut Otto, sudah final. Selain putusan Mahkamah Konstitusi, Otto juga menunjuk ketentuan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 089 Tahun 2010 yang mengakui Peradi sebagai wadah tunggal.

 

Lebih jauh Otto membantah dalil Frans Hendra dkk yang menyatakan ketentuan tentang wadah tunggal advokat membatasi kebebasan para advokat untuk berserikat. “Tidak. Tidak membatasi kok. Silakan saja membuat organisasi apapun, sebanyak apapun. Contohnya sekarang masih ada Ikadin, AAI, HKHPM dll. Tapi yang menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai wadah advokat sesuai UU Advokat, ya cuma satu, yaitu Peradi.”

 

Pihak Peradi, masih menurut Otto, akan memikirkan untuk menjadi pihak terkait dalam pengujian UU Advokat ini. “Kita akan pikirkan untuk mengajukan intervensi.” Yang pasti Otto mengaku heran dengan permohonan Frans Hendra dkk yang dulu juga getol memperjuangkan wadah tunggal advokat. 

Tags: