Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pagi itu ada yang berbeda dari hari sebelumnya. Terdakwa kasus bom Thamrin, Oman Rochman alias Aman Abdurrahman menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan dari jaksa penuntut umum, Jumat (18/5). Dalam tuntutannya, jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap Aman.
Perbedaan sidang Aman terlihat dari segi pengamanannya. Pantauan Hukumonline, tidak sembarang orang bisa masuk ke PN Jakarta Selatan. Ratusan personel sengaja diturunkan untuk mengamankan jalannya sidang.
Pintu pagar PN Jakarta Selatan ditutup dan hanya orang yang berkepentingan yang boleh masuk. Setiap orang yang masuk lingkungan PN harus diperiksa dulu bawaannya tidak hanya sekali.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 152 personel dari Polri dan 30 personel dari TNI diterjunkan. Bahkan penjagaan juga tampak hingga ke luar gedung pengadilan yang dijaga oleh polisi bersenjata laras panjang dan mobil Gegana.
"Kita tempatkan anggota-anggota kita yang bersenjata mengawasi semua kegiatan orang per orang yang di dalam gedung ini termasuk juga yang ada di luar kantor pengadilan. Itu yang perlu kita antisipasi," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Indra Jafar.
Saat tiba di pengadilan, pengawalan ketat pun dilakukan. diapit oleh petugas Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri sampai ke dalam ruang sidang. Bahkan, pengamanan juga sampai ke ruang sidang, sejumlah aparat kepolisian bersenjata laras panjang terlihat berjaga dalam ruang sidang.
Jaksa penuntut umum menuntut Aman selaku terdakwa serangan teror bom Thamrin, dengan hukuman mati. Aman dianggap bertanggung jawab dalam aksi teror yang menewaskan sejumlah orang. Bahkan ia dianggap sebagai dalang dalam serangan lainnya di Indonesia dalam rentang waktu sembilan tahun terakhir.
"Menuntut supaya majelis hakim menjatuhkan tuntutan pidana dengan hukuman pidana mati," kata Jaksa Anita.
Jaksa juga meminta majelis hakim memutuskan memberi kompensasi bagi para korban akibat serangan teror yang terjadi.
Aman dianggap aktor intelektual dalang berbagai serangan teror dengan memberikan doktrin kepada pelaku bom bunuh diri di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016 silam. Dia juga disebut ada di balik teror bom Kampung Melayu dan Samarinda.
Akibatnya, sejumlah masyarakat sipil dan anggota polisi tewas dan puluhan orang lainnya luka-luka karena tiga teror di Thamrin, Kampung Melayu dan pelemparan bom ke Gereja HKBP Oikumene, Samarinda.
Aman dianggap memberikan doktrin kepada para pengikutnya yang mengunjunginya di penjara. Mereka diperintahkan untuk berjihad dengan menjadikan warga negara asing sebagai targetnya.
Ia kerap memberikan ceramah atau kajian di sejumlah kota, seperti di Jakarta, Surabaya, Lamongan, Balikpapan, dan Samarinda. Materi ceramah Aman diambil dari buku seri materi tauhid yang dikarang olehnya yang berisi pemahaman tentang demokrasi.
Bahkan, selama mendekam di Lapas Nusakambangan atas kasus pelatihan militer di Aceh, pada 2009 silam, Aman diketahui tetap dikunjungi oleh para pengikutnya dan memberi ceramah. Dari balik jeruji besi itu, Aman juga diketahui membaiat para pengikutnya dan membentuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Atas perbuatannya itu, Aman dinilai melanggar dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer. Dakwaan kesatu primer yakni Pasal 14 jo. Pasal 6 Perppu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 jo. Pasal 7 Perppu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003.