Kesiapan Regulasi Jadi Kunci Penting Implementasi Perdagangan Karbon di Indonesia
Utama

Kesiapan Regulasi Jadi Kunci Penting Implementasi Perdagangan Karbon di Indonesia

Ada kekhawatiran dari sisi regulasi dalam perdagangan karbon. Tapi pentingnya harmonisasi prosedur dan standar sehingga implementasi perdagangan karbon dapat berjalan optimal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Hukumonline
Ilustrasi. Hukumonline

Pemerintah memperkirakan implementasi bursa karbon di Indonesia dapat ditransaksikan pada September 2023 mendatang. Pembentukan bursa karbon diharapkan dapat mengendalikan emisi sekaligus memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan dan entitas lainnya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Bahkan menjadi upaya memitigasi perubahan iklim nasional. Regulasi menjadi salah satu aspek penting yang diperlukan untuk mendukung bursa karbon tersebut.

Penasihat Khusus Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi Bidang Perdagangan Karbon, Edo Mahendra menyampaikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi suplai karbon terbesar global. Dengan potensi tersebut, Edo mengatakan pemerintah sedang menyiapkan aturan main bursa karbon yang transparan dan sehat sehingga menciptakan nilai ekonomi sekaligus penurunan emisi.

“Ada banyak PR-nya. Namun, ini (bursa karbon, red) sesuatu yang harus dilakukan, secara pelan-pelan tentunya. Banyak cara yang harus dilakukan untuk carbon market. Ini harus dipakai untuk menurunkan emisi. Harus diperhatikan betul-betul sehingga, Indonesia bisa kuasai potensi ini,” ujarnya dalam diskusi panel ‘Future of Indonesia’s Carbon Market’ pada acara Indonesia’s Transition towards Net Zero di Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Baca juga:

Salah satu persoalan yang dikhawatirkan yaitu perhitungan ganda atau double counting atas kredit karbon. Namun, dengan penggunaan teknologi blockchain maka risiko tersebut dapat dihilangkan. Makanya Edo menekankan pentingnya penerapan bursa karbon yang mengikuti standar internasional sehingga memberi kepercayaan berbagai pihak seperti swasta dan masyarakat.

“Salah satu yang dikhawatirkan yaitu double counting. Sebenarnya teknologi sudah membantu, kalau pakai blockchain sudah bisa di-trace, double counting bisa nol. Yang dibutuhkan Indonesia yaitu harus open (keterbukaan), kalau institusi dan human capital, supply sudah ada. Dan karbon standar yang penuhi standar internasional,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Chairman of Indonesia Carbon Trade Association, Riza Suarga mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon. Untuk keberhasilan implementasi perdagangan karbon harus memenuhi unsur atas kejelasan metodologi, perdagangan internasional, kelayakan Letters of Approval and Authorization (LOAA) dan inclusion of avoidance credits.

Riza menjelaskan, pihaknya telah menjalankan berbagai program mendukung konservasi mangrove dan kawasan hutan lainnya di berbagai daerah, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Pelaksanaan program tersebut dilakukan dengan metodologi yang akurat dan didukung teknologi canggih sehingga menjadi daya tarik pembeli kredit karbon.

Dia menyampaikan terdapat kekhawatiran dari sisi regulasi dalam perdagangan karbon. Namun, Riza menekankan pentingnya harmonisasi prosedur dan standar sehingga implementasi perdagangan karbon dapat berjalan optimal. Tak hanya itu, perlunya optimalisasi Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dalam perdagangan karbon.

“Proses registrasi di Verra itu perlu waktu 2-3 tahun. Kalau Indonesia dapat manfaatkan peluang SRN dapat manfaatkan ini karena secara mandat memerlukan waktu 4 bulan,” katanya.

Junior Partner and Director PwC Legal Indonesia, Fifiek Mulyana yang menjadi panelis dalam acara tersebut, menyampaikan Indonesia sudah agresif memasuki ekosistem perdagangan karbon. Sektor energi dan lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) dalam perdagangan karbon.

Kedua sektor tersebut juga telah didukung dengan peraturan tingkat Menteri seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Kemudian Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Sayangnya, menurut Fifiek sektor-sektor lain seperti manufaktur, pertanian masih belum terdapat regulasinya.

Fifiek menjelaskan pengaturan umum perdagangan karbon, Indonesia memiliki titik awal pada penurunan emisi nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Selanjutnya, terdapat mandatori regulasi, berbasis sektoral dan perdagangan internasional. Dia menekankan pentingnya dunia usaha mempersiapkan implementasi dari perdagangan karbon karena dapat mempengaruhi rencana bisnis perusahaan.

Lebih lanjut Fifiek mengatakan, untuk emission trading sedianya yang paling penting saat badan usaha mendapat kuota emisi harus mitigasi atau adaptasi dalam usahanya. Seperti co-firing, forestasi, pemasangan solar panel, di situlah memerlukan perubahan rencana bisnis perusahaan. Dengan demikian, diperlukan perhitungan kembali rencana bisnis dan perusahaan ke depannya.

“Konsekuensi kuota ini mengubah keuangan investasi dan rencana perusahaan. Ini harus direncanakan secara hati-hati,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait