Kesejahteraan Rakyat Papua Tertunda Karena UU Otsus
Berita

Kesejahteraan Rakyat Papua Tertunda Karena UU Otsus

Anggaran triliunan rupiah disediakan, kesejahteraan belum terwujud.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Kesejahteraan Rakyat Papua Tertunda Karena UU Otsus
Hukumonline

Belum sejahteranya penduduk Papua memang banyak sebab. Salah satu sebab itu adalah implementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang jalan di tempat.

“Mengapa tidak dijalankan secara konsisten,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budo Santoso dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (16/4).

Berdasarkan data, luas tanah Papua mencapai tiga kali luas Pulau Jawa. Tanah seluas itu hanya ditempati penduduk sekira dua juta jiwa. Meski kekayaan alam berlimpah, kehidupan masyarakat malah sebaliknya. Menurut Priyo, berdasarkan data 2012, masyarakat belum sejahtera mencapai 37,3 persen dari total penduduk di Papua.

Padahal, sejak UU Otsus Papua disahkan, pemerintah pusat menggelontorkan anggaran sebesar Rp33 triliun. Sedangkan untuk Papua Barat dana yang digelontorkan sebesar Rp7,2 triliun. Tujuannya hanya untuk membantu pembangunan guna menciptakan sejarah.

Pemerintah pusat memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengelola dana triliunan rupiah itu. Meski pemerintah pusat mengamanatkan agar dana itu digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.

Menurut politisi Partai Golkar itu, UU 21 Tahun 2001 diperuntukkan agar kehidupan masyarakat Papua sejajar dengan rakyat Indonesia. UU Otsus Papua dirancang agar dapat meminimalisir kesenjangan. Sekaligus menjadikan rujukan dalam memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia. Tetapi, pergolakan di Papua belum juga berhenti.

Priyo berpendapat, tidak berjalannya UU Otsus lantaran Papua belum menyelesaikan peraturan turunan berupa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi. Akibatnya, dana Otsus tak jelas pembagiannya. Padahal, UU Otsus telah mengamanatkan pembagian dana Otsus.

Ia tak menampik, penyebabnya antara lain dari sumber daya manusia di Papua. “Sampai sekarang yang terjadi pergesekan dana tiga puluh sekian triliun masih terjadi tarik menarik. Lalu siapa yang berwenang membagi ini?” ujarnya.

Tidak hanya itu, kata Priyo berdasarkan hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan adanya dugaan penyelewengan dana. Namun ia enggan membeberkan lebih jauh. Pasalnya, BPK belum memberikan laporan secara formal. Ia mempersilakan BPK yang akan memberitahukan ke lembaga penegak hukum soal temuan tersebut. “Temuan BPK dalam investigasi khusus menemukan hal mencengangkan, ternyata sekian persen ada yang bolong,” ujarnya.

Wakil ketua DPD Laode Ida menambahkan sumber daya alam Papua kian hari dikeruk oleh pusat. Namun masyarakat Papua tak diperhatikan. Ia menilai jikalau UU Otsus Papua berjalan, masyarakat Papua setidaknya sudah dapat sejajar kehidupannya dengan masyarakat lain. Nah, agar Otsus dapat berjalan diperlukan pendampingan yang menyeluruh.

Langkah ini, menurut Laode, menjadikan anggaran dana Otsus Papua mengalir sesuai peruntukannya. Menurutnya, jika memang ada dugaan penyimpangan dana Otsus, maka jangan salahkan orang Papua, tetapi pemerintah pusat. “Mengapa tidak dipandu, mengapa tidak ada proses pendampingan,” ujarnya.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro heran dengan kondisi masyarakat Papua. Padahal dengan dana yang sedemikian besar seharusnya kehidupan masyarakat Papua sudah mengalami kemajuan. Ia berpandangan dana Otsus sudah saatnya dikelola oleh Pemda. Peran BPK harus lebih awal dalam melakukan pengawasan.

Tidaknya hanya BPK, peran BPKP, Bawasda dan KPK harus dominan. Menurutnya Otsus dengan dana yang sedemikian besar tidak dibarengi dengan pengawasan khusus. Misalnya, melakukan pendampingan, bimbingan teknis pengawasan.

“Kalau tidak dilakukan (pengawasan), maka BPK dengan tangkas dapat mengetahui kecurangan berupa penyelewengan. Bukan hanya pemerintah pusat saja, tapi Pemda juga kurang kreatif dalam melakukan MoU dengan KPK, BPK, dan KemenPAN.”

Tags: