Kesamaan Pandang Kunci Penting Penyusunan Omnibus Law
Berita

Kesamaan Pandang Kunci Penting Penyusunan Omnibus Law

Hukum bertugas memfasilitasi, bukan untuk menghambat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Diskusi terbatas mengenai omnibus law yang diselenggarakan jaringan alumnus FH USU, di Jakarta (25/11). Foto: HOL
Diskusi terbatas mengenai omnibus law yang diselenggarakan jaringan alumnus FH USU, di Jakarta (25/11). Foto: HOL

Gagasan pemerintah untuk membuat Omnibus Law sebagai salah satu solusi mengatasi disharmoni, tumpang tindih peraturan dan overregulated patut didukung. Tetapi menyusun Omnibus Law tidak semudah membalik telapak tangan. Para pemangku kepentingan perlu punya kesamaan pandang terhadap hal-hal yang akan diatur atau menjadi materi muatan Omnibus Law.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari diskusi terbatas yang diselenggarakan USULAN, jaringan alumnus Fakultas Hukum USU, di Jakarta, Senin (25/11) malam. Diskusi ini diselenggarakan untuk menanggapi rencana pemerintah menyatukan berbagai peraturan perundang-undangan dalam Omnibus Law.

Omnibus Law dipahami sebagai suatu undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan. Isinya bisa memuat hal baru, atau mengamandemen undang-undang yang sudah ada. Prakteknya, Omnibus Law berisi banyak pasal, tetapi berguna menghindari tumpang tindih.

Menurut advokat senior, Ricardo Simanjuntak, dalam menyusun Omnibus Law, para pemangku kepentingan perlu punya kesamaan pandang mengenai hal-hal yang akan diatur. Tanpa kesamaan pandang, Omnibus Law dapat menimbulkan kesulitan. Satu Undang-Undang saja banyak penafsiran, apalagi jika beberapa aturan digabungkan. Itu sebabnya, Ricardo percaya bahwa yang paling penting dilakukan adalah mengubah mindset mengenai hukum. Hukum dibuat bukan untuk menghambat atau menghalangi perkembangan masyarakat. “Hukum berfungsi memfasilitasi,” ujarnya dalam diskusi dimaksud.

(Baca juga: Omnibus Law Tak Harus Merevisi UU Pembentukan Peraturan).

Senada, advokat Muhammad Joni mengatakan gagasan Omnibus Law perlu dilihat dalam konteks hukum dalam perubahan. Masyarakat terus berubah, demikian pula hukum. Hukum itu terus mengalami perubahan dan dinamika. Yang paling penting, kata Joni, adalah bagaimana mengisi perubahan itu.

Cuma ia mengingatkan perubahan hukum itu tak boleh melupakan asas dan etika. Ia menyitir kalimat terkenal dari hakim agung Amerika Serikat (1953-1969), Earl Warren, law floats in a sea of ethics, hukum mengapung di samudera etika. Joni memberi contoh bagaimana undang-undang sektoral semakin menjauh dari asas-asas yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.

“Apakah kita punya sistem hukum properti?” Pertanyaan ini diajukan Joni dalam konteks Omnibus Law ketika melihat realitas beragamnya peraturan perundang-undangan yang bersinggungan dengan properti dan implikasinya dalam realitas yang sering menimbulkan problem hukum. “Terjadi fragmentasi,” tegasnya.

Pengamat hukum migas, Ali Nasir, berpendapat Indonesia membutuhkan beberapa Omnibus Law untuk mendukung investasi. Misalnya, di bidang ketenagakerjaan, industri, perpajakan dan investasi. Satu Omnibus Law bisa memuat 1.500-an pasal, yang isinya dapat berupa norma baru atau amandemen terhadap undang-undang yang sudah ada. “Tidak cukup satu Omnibus Law,” ujar Ali Nasir.

Dalam diskusi yang diselenggarakan USULAN tersebut, Ali Nasir memberikan contoh pentingnya Omnibus Law dalam bidang energy dan sumber daya alam. Migas hanya salah satu bab dalam Omnibus Law Bidang Investasi yang kini sedang digagas pemerintah. Perhatian pemerintah pada migas dilatarbelakangi kondisi riil bahwa terjadi penurunan kontribusi migas terhadap pendapatan negara. Pada saat yang sama pasokan migas juga berkurang. Itu bisa terjadi karena investasi di sektor ini mengalami penurunan baik karena cadangan migas menurun maupun kendala-kendala regulasi. Dijelaskan Ali, investasi migas adalah investasi yang sangat berisiko, dan modalnya baru bisa kembali (jika berhasil) dalam rentang waktu 20-30 tahun.

(Baca juga: Mengenal Omnibus Law dan Manfaatnya dalam Hukum Indonesia).

Itu sebabnya, dalam penyusunan Omnibus Law Bidang Investasi khususnya terkait migas, Ali Nasir mengingatkan pentingnya kepastian hukum. Jangan sampai peraturan menteri yang lahir belakangan justru menganulir kontrak yang sudah disepakati para pihak sebelumnya. Penghargaan terhadap kontrak menjadi salah satu kunci yang dipergunakan investor untuk memutuskan untuk berinvestasi atau tidak.

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, beberapa masukan bidang energi dan sumber daya mineral adalah revisi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Migas. Namun hingga kini belum ada satu pun Omnibus Law yang benar-benar terwujud. Di bidang perpajakan, misalnya, gagasan Omnibus Law adalah menggabungkan Undang-Undang bidang perpajakan (PPH, PPN, dan KUP). Tujuannya antara lain adalah memberikan kepastian hukum.

Tags:

Berita Terkait