Kesalahan-Kesalahan Konseptual Pengadilan Hubungan Industrial
Simposium Hukum Ketenagakerjaan:

Kesalahan-Kesalahan Konseptual Pengadilan Hubungan Industrial

Masih ada jenis perselisihan hubungan industrial yang mekanisme penyelesaiannya tak jelas. Konsep musyawarah untuk mufakat harus diperkuat.

Ady Thea DA/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Simposium hukum ketenagakerjaan di FH Universitas Parahyangan Bandung, (26-27/7). Foto: ADY
Simposium hukum ketenagakerjaan di FH Universitas Parahyangan Bandung, (26-27/7). Foto: ADY

Simposium Hukum Ketenagakerjaan yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung sudah berakhir beberapa hari lalu. Dihadiri ratusan pengajar, praktisi, aktivis buruh, dan wakil instansi pemerintah itu adalah simposium yang digelar pada 26-27 Juli lalu sebagai kelanjutan perhelatan sebelumnya di Surabaya dan Medan. Meskipun simposiumnya sudah berakhir, Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan (P3HKI), penggagas simposium bersama ILO,  masih punya pekerjaan rumah untuk merampungkan usulan-usulan yang akan disampaikan kepada pemangku kepentingan.

 

Kepada Hukumonline, Ketua Umum P3HKI, Asri Wijayanti, menjelaskan Simposium di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung mengusung dua isu penting. Pertama berkaitan dengan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI); dan kedua berkaitan dengan kurikulum hukum ketenagakerjaan yang diajarkan di perguruan tinggi.

 

Untuk pokok pikiran yang pertama, jelas Asri, P3HKI melihat ada sejumlah kelemahan konseptual UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang selama ini dijalankan sangat menekankan pada hukum perdata, padahal ada aspek hukum publik yang tak bisa diabaikan dalam masalah perburuhan. Konsep mediasi dalam penyelesaian hubungan industrial di bawah rezim UU No. 2 Tahun 2004 juga perlu dikritisi. Korelasi konseptual Undang-Undang ini dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga dibahas di simposium.

 

(Baca juga: Akademisi Kritik Efektivitas UU PPHI, Begini Jawaban Pemerintah)

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Agusmidah, menunjukkan salah satu kekaburan konsep norma hukum ketenagakerjaan: hubungan industrial. Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan industrial sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku usaha dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

 

Kerancuan bisa terlihat jika dibandingkan UU PPHI. Pasal 1 UU PPHI menyebutkan perselisihan hubungan industrial yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

 

Agusmidah memaparkan, perselisihan yang dimaksud dalam konteks ini adalah antar pelaku usaha yakni pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha atau sosiasinya. Itu juga bisa terlihat dari jenis perselisihan yang ada dalam praktik, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.” Jadi, Pemerintah tidak termasuk salah satu pihak yang berselisih di UU PPHI,” tegasnya.

 

Surya Tjandra, dosen hukum ketenagakerjaan di Unika Atmajaya Jakarta, juga menyoroti keempat jenis perselisihan yang disinggung Agusmidah. UU PPHI tidak membuka ruang untuk perselisihan lain. Padahal, dalam praktik, ada jenis perselisihan yang terjadi seperti pembayaran upah di bawah upah minimum, pemberangusan serikat pekerja, dan pidana jaminan sosial. “Ke depan, PHI perlu menjadi lembaga yudikatif yang menyeluruh sebagai penyelesai masalah ketenagakerjaan atau pun hubungan industrial,” usulnya.

 

Konsep lain yang disorot adalah prinsip dasar penyelesaian perselisihan lewat musyawarah untuk mufakat. Konsep ini dianut UU PPHI dan peraturan terdahulu: UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Agusmidah melihat masalah ini dari perspektif politik hukum.

 

Politik hukum UU No. 22 Tahun 1957 pada tahap awal adalah penyelesaian perselisihan dilakukan para pihak yang berselisih dengan mengedepankan musyawarah. Jika gagal, pemerintah bisa dijadikan sebagai media penyelesaian. Di sini, Pengadilan Hubungan Industrial belum dikenal. Senada, Pasal 3 ayat (1) UU PPHI mewajibkan penyelesaian lebih dahulu secara bipartit musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun, tidak ada rumusan sanksi yang tegas jika salah salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan perundingan bipartit. Akibatnya, papar Agusmidah, masih ada perselisihan yang diselesaikan dengan pendekatan ‘power’ seperti mogok kerja atau penggunaan kekuatan massa.

 

(Baca juga: PHI Adili PHK di Perwakilan Negara Asing Sebagai Terobosan)

 

Persoalan lain yang disorot para akademisi dan praktisi dalam simposium adalah eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Menurut Surya, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap seharusnya dijalankan secara sukarela. Namun ternyata eksekusi tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak ada sanksi jika pihak yang bersengketa tidak menjalankan putusan hakim yang sudah bersifat inkract van gewijsde verklaard.

 

Penelitian yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2014 juga mengarah pada kesimpulan bahwa mekanisme PHI ternyata belum efektif. Tak hanya karena eksekusi putusan, tetapi juga waktu penyelesaian, upah proses yang tak dibayar, dan disparitas putusan hakim untuk perkara yang punya kemiripan.

 

Agusmidah juga melihat penyelesaian perselisihan lewat PHI belum efektif jika dilihat dari empat prinsip dasar pelaksanaan peradilan yakni cepat, tepat, adil, dan murah. Penyebabnya memang banyak.  Pertama, konsep perselisihan dikaburkan dengan konsep sengketa atau konflik sehingga menempatkan mekanisme pengadilan untuk semua jenis perselisihan. Kedua, konsep alternatif penyelesaian sengketa masih setengah hati; konsiliasi dan arbitrase nyaris tidak pernah menjadi pilihan karena keterbatasan kewenangan berdasarkan jenis perselisihan.

 

Ketua Umum P3HKI, Asri Wijayanti, mengatakan proses penggodokan masukan berupa pokok-pokok pikiran akan dilakukan guna kepentingan revisi. P3HKI mencatat dan merangkum masukan-masukan para pemangku kepentingan. “Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 itu harus direvisi,” ujarnya.

 

Rencana perubahan itu sebenarnya sudah ditindaklanjuti. Naskah akademisnya sudah disusun. Namun Koordinator Geber BUMN, Achmad Ismail, mengusulkan agar revisi UU PPHI tidak lagi membuka ruang untuk ‘perselisihan’ karena faktanya hampir seluruh masalah ketenagakerjaan berawal dari pelanggaran norma. “Kami mendorong lahirnya konsep penguatan produk hukum/instansi/institusi. Yang kita butuhkan bukan soal ‘kewenangan yang mengurusnya’ tapi kewenangan yang memaksa,” ujarnya.

 

(Baca juga: Pekerja Kritik Mekanisme PHI)

 

Pria yang disapa Ais itu menjelaskan selama ini produk yang diterbitkan dari proses mediasi seperti anjuran tidak berfungsi optimal. Lebih baik direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menjadi subordinat direktorat Pengawasan Norma di Kementerian Ketenagakerjaan. Pemerintah selaku perwakilan negara harus hadir membantu posisi buruh yang tidak imbang di hadapan pengusaha. Akademisi dan universitas juga berperan untuk memberi pemahaman tentang ketenagakerjaan kepada semua pemangku kepentingan.

 

Kurikulum

Terkait dengan pokok pikiran kedua, yakni kurikulum pengajaran hukum ketenagakerjaan, Simposium Parahyangan sepakat untuk tidak menyamaratakan materi yang diatur karena kondisi riil. Ada kondisi di masing-masing daerah perguruan tinggi yang berbeda. Misalnya, Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kawasan industri dengan jumlah tenaga kerja yang sangat banyak. Kebutuhan pada pengajaran hukum ketenagakerjaan sangat besar.

 

Sebaliknya, di daerah-daerah minim industri, pengajaran hukum ketenagakerjaan bisa disesuaikan. Asri Wijayanti memberi contoh Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut akademisi  Universitas Muhammadiyah Surabaya itu, masalah pekerja migran lebih banyak muncul di NTT sehingga pengajaran hukum ketenagakerjaan bisa lebih fokus pada masalah ini, dan bukan mengedepankan masalah Pengadilan Hubungan Industrial. “Karakter setiap daerah berbeda,” pungkasnya.

 

Pada intinya, kurikulum yang ingin dikembangkan adalah kurikulum hukum ketenagakerjaan yang berbasis kompetensi.

Tags:

Berita Terkait