Kesalahan-Kesalahan Konseptual Pengadilan Hubungan Industrial
Simposium Hukum Ketenagakerjaan:

Kesalahan-Kesalahan Konseptual Pengadilan Hubungan Industrial

Masih ada jenis perselisihan hubungan industrial yang mekanisme penyelesaiannya tak jelas. Konsep musyawarah untuk mufakat harus diperkuat.

Ady Thea DA/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Konsep lain yang disorot adalah prinsip dasar penyelesaian perselisihan lewat musyawarah untuk mufakat. Konsep ini dianut UU PPHI dan peraturan terdahulu: UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Agusmidah melihat masalah ini dari perspektif politik hukum.

 

Politik hukum UU No. 22 Tahun 1957 pada tahap awal adalah penyelesaian perselisihan dilakukan para pihak yang berselisih dengan mengedepankan musyawarah. Jika gagal, pemerintah bisa dijadikan sebagai media penyelesaian. Di sini, Pengadilan Hubungan Industrial belum dikenal. Senada, Pasal 3 ayat (1) UU PPHI mewajibkan penyelesaian lebih dahulu secara bipartit musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun, tidak ada rumusan sanksi yang tegas jika salah salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan perundingan bipartit. Akibatnya, papar Agusmidah, masih ada perselisihan yang diselesaikan dengan pendekatan ‘power’ seperti mogok kerja atau penggunaan kekuatan massa.

 

(Baca juga: PHI Adili PHK di Perwakilan Negara Asing Sebagai Terobosan)

 

Persoalan lain yang disorot para akademisi dan praktisi dalam simposium adalah eksekusi putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Menurut Surya, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap seharusnya dijalankan secara sukarela. Namun ternyata eksekusi tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak ada sanksi jika pihak yang bersengketa tidak menjalankan putusan hakim yang sudah bersifat inkract van gewijsde verklaard.

 

Penelitian yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2014 juga mengarah pada kesimpulan bahwa mekanisme PHI ternyata belum efektif. Tak hanya karena eksekusi putusan, tetapi juga waktu penyelesaian, upah proses yang tak dibayar, dan disparitas putusan hakim untuk perkara yang punya kemiripan.

 

Agusmidah juga melihat penyelesaian perselisihan lewat PHI belum efektif jika dilihat dari empat prinsip dasar pelaksanaan peradilan yakni cepat, tepat, adil, dan murah. Penyebabnya memang banyak.  Pertama, konsep perselisihan dikaburkan dengan konsep sengketa atau konflik sehingga menempatkan mekanisme pengadilan untuk semua jenis perselisihan. Kedua, konsep alternatif penyelesaian sengketa masih setengah hati; konsiliasi dan arbitrase nyaris tidak pernah menjadi pilihan karena keterbatasan kewenangan berdasarkan jenis perselisihan.

 

Ketua Umum P3HKI, Asri Wijayanti, mengatakan proses penggodokan masukan berupa pokok-pokok pikiran akan dilakukan guna kepentingan revisi. P3HKI mencatat dan merangkum masukan-masukan para pemangku kepentingan. “Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 itu harus direvisi,” ujarnya.

 

Rencana perubahan itu sebenarnya sudah ditindaklanjuti. Naskah akademisnya sudah disusun. Namun Koordinator Geber BUMN, Achmad Ismail, mengusulkan agar revisi UU PPHI tidak lagi membuka ruang untuk ‘perselisihan’ karena faktanya hampir seluruh masalah ketenagakerjaan berawal dari pelanggaran norma. “Kami mendorong lahirnya konsep penguatan produk hukum/instansi/institusi. Yang kita butuhkan bukan soal ‘kewenangan yang mengurusnya’ tapi kewenangan yang memaksa,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait