Keputusan RUPS Persero:Keputusan TUN atau Pemegang
Kolom

Keputusan RUPS Persero:Keputusan TUN atau Pemegang

Meskipun telah go public, komposisi pemegang saham PT Telkom Tbk. (Telkom) mayoritas dimiliki oleh negara Indonesia. Yakni, negara Republik Indonesia (51,19 %), pemodal nasional (5%), dan pemodal asing (43,81%) (sumber: website telkom.co.id per 30 November 2002). Ini berarti bahwa Telkom termasuk dalam kategori persero.

Bacaan 2 Menit
Keputusan RUPS Persero:Keputusan TUN atau Pemegang
Hukumonline

Beberapa waktu lalu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) kembali menuai gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dilakukan oleh Rahardjo Tjakraningrat, (mantan) anggota Komisaris PT Telkom Tbk (Persero), atas SK Meneg BUMN No. S-452A/M-BUMN/2002 tanggal 10 Juni 2002 mengenai pemberhentian dan pengangkatan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Telkom (SK Meneg BUMN).

Pasalnya, akibat ditekennya SK tersebut, penggugat (Rahadjo Tjakraningrat) diberhentikan dari jabatannya di tengah masa jabatannya. Majelis hakim mengabulkan gugatan Rahardjo karena SK itu tidak sesuai dengan prosedur hukum. Buntutnya, SK pergantian manajemen Telkom dinyatakan batal.

Tulisan di bawah ini bermaksud mengulas tentang hak suara yang timbul dari kepemilikan hak perdata (korporasi) negara selaku pemegang saham Persero dalam penggunaan hak suara negara dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Telkom. Apakah penggunaan hak suara negara selaku pemegang saham Persero dalam RUPS yang dituangkan dalam SK Meneg BUMN termasuk dalam kategori Putusan Tata Usaha Negara (putusan TUN) ataukah keputusan yang bersifat perdata?

Persero adalah badan hukum privat.

Berdasarkan sifat usaha dan maksud tujuan didirikannya BUMN--kecuali ditetapkan lain oleh Undang-Undang--Perusahaan Negara dibedakan menjadi 3 macam, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero) (lihat Pasal 1 UU No.9 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara).

Dari pengelompokan tersebut, dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, BUMN yang masih terkait dengan pemerintah, memiliki harta yang tidak terpisah dari kekayaan negara, dan status pegawainya adalah pegawai negeri. Kedua, BUMN yang sudah menjelma menjadi 'perusahaan swasta' yang dimiliki pemerintah, kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara, dan pegawainya tidak terikat pada ketentuan pegawai negeri.

Perjan yang termasuk dalam kategori pertama merupakan bagian dari Departemen/Direktorat Jenderal, sehingga mempunyai hubungan sebagai badan hukum publik (publiekrechteljke verhounding). Konsekuensinya, Surat Keputusan pengangkatan Direksi Perjan dikeluarkan dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN).

Persero pada hakikatnya merupakan entitas bisnis biasa (partikelir) yang terpisah dari unsur negara. Hanya kebetulan pemegang sahamnya adalah negara, sehingga memiliki status hukum sebagai badan hukum privat/perdata. Argumen tersebut dilandasi oleh beberapa hal.

Pertama, Pasal 2 ayat 3 UU No.9/1969 bahwa Persero adalah perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas seperti diatur menurut ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) (Stbl.1847:23 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir ketentuan mengenai Perseroan Terbatas dalam KUHD diubah dengan Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas - UUPT-pen) baik yang saham-sahamnya untuk sebagainya maupun seluruhnya dimiliki oleh negara.

Kedua, Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) (PP No.12/1998) mendefiniskan bahwa Persero adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.9 tahun 1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas. Sebagaimana, dimaksud dalam UUPT yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung. Ketentuan ini menguatkan anggapan bahwa sesungguhnya Persero adalah sama dengan PT sebagai entitas bisnis partikelir (swasta) lainnya. Hanya pembedaannya bahwa sahamnya sebagian besar atau seluruhnya dimiliki oleh negara.

Ketiga, Pasal 3 PP No.12/1998 menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku prinsip-prinsip Perseroan Terbatas (PT), sebagaimana diatur dalam UUPT. Konsekuensi yuridis yang logis diberlakukannya prinsip-prinsip PT, maka berlaku pula prinsip-prinsip hukum privat (korporasi). Ketentuan ini juga menguatkan bahwa Persero adalah subyek hukum privat, meski pemegang sahamnya seluruhnya atau sebagian besar adalah negara.

Keempat, UUPT menganut asas hukum perjanjian bagi pemegang sahamnya (Pasal 1 ayat 1 UUPT). Telkom sebagai Persero yang memiliki lebih dari satu pemegang saham, maka pemegang saham pihak negara telah mengikatkan diri dengan pemegang saham non negara dalam suatu perjanjian yang termasuk dalam kategori perikatan hukum perdata (korporasi). Perjanjian tersebut tidak mengandung unsur hukum publik sama sekali meski pemegang sahamnya adalah negara.

Keputusan RUPS persero bukan putusan TUN

Apabila cara musyawarah untuk mufakat tidak berhasil dicapai, keputusan RUPS Persero akan diputuskan berdasarkan suara terbanyak dari para pemegang saham Persero yang bersangkutan (Pasal 74 UUPT). Dengan demikian, keputusan RUPS dihasilkan dari hak suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham dari Persero yang memiliki hak suara yang sah.

Untuk pemegang saham negara, berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Persero, Perum, dan Perjan Kepada Meneg BUMN (PP No.64/2001), maka kewenangan untuk menyuarakan kepentingan pemegang saham melalui RUPS adalah diberikan kepada Meneg BUMN.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN) mendefiniskan Putusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Secara sepintas, hak suara Meneg BUMN melalui SK-nya selaku pemegang saham Persero dalam RUPS telah memenuhi unsur sebagai Putusan TUN tersebut di atas. Namun apabila kita kaji lebih lanjut, ada beberapa hal yang melemahkan anggapan tersebut di atas, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pertama, Pasal 1 angka 2 UUPTUN mendefinisikan Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hak suara yang timbul sebagai pemegang saham Persero adalah bukan melaksanakan urusan pemerintahan, melainkan dalam rangka melaksanakan hak perdata negara (bukan kewenangan TUN) sebagai pemegang saham yang tunduk pada UUPT dan anggaran dasar Persero yang masuk dalam urusan hukum perdata (korporasi).

Kedua, pada prinsipnya, UUPT memberikan hak suara bagi setiap pemegang sahamnya. Namun demikian, dimungkinkan dalam anggaran dasar PT ditetapkan lebih dari satu klasifikasi saham. Misalnya dengan hak suara khusus, bersyarat, terbatas atau tanpa hak suara (Pasal 46 ayat 4 UUPT).

Hak suara khusus diberikan pada pemegang saham yang biasanya pemegang saham pendiri yang berupa mengusulkan dan/atau menetapkan anggota Direksi dan Komisaris, hak untuk menyetujui atau menolak (semacam hak 'veto') perseroan dalam melakukan merger, konsolidasi, akuisi, dan likuidasi.

Namun, UUPT tidak membedakan bahwa hak khusus, sebagaimana di atas, dimungkinan berdasarkan pemilikannya. Yaitu, negara atau nonnegara (privat), pendiri atau nonpendiri. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa hak suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham adalah dalam kedudukannya sebagai subyek hukum perdata, meskipun itu dimiliki oleh negara. Sebagai subyek hukum perdata, Meneg BUMN selaku wakil pemerintah sebagai pemegang saham Persero adalah suara di keluarkannya bukanlah putusan TUN.

Ketiga, hak suara khusus yang dimiliki pemegang saham dalam UUPT adalah bukan karena dimiliki oleh negara, tapi karena diatur dalam anggaran dasar berdasarkan kesepakatan para pemegang saham (Pasal 46 ayat 4 UUPT). Oleh karena itu, posisi negara sebagai pemegang saham adalah sebagai subyek hukum perdata (korporasi). Hal ini secara implisit dinyatakan Pasal 2 ayat 3 UU No.9/1969  dan Pasal 3 PP No.12/1998 dan pasal 3 PP No.12/1998 yang menegaskan bahwa Persero tunduk pada UUPT (yang merupkan wilayah hukum perdata (korporasi)), sebagaimana tersebut di atas.

Keempat, konsekuensi tunduk pada UUPT, maka kedudukan PP No.64/2001 yang di antaranya memberikan kuasa kepada Meneg BUMN untuk mewakili negara sebagai pemegang saham dalam RUPS adalah tidak ubahnya dan sederajat dengan surat kuasa yang diberikan pemegang saham partikelir (nonnegara) pada PT (dalam hal ini Telkom) kepada pemegang sahamnya untuk mewakilinya dalam RUPS.

Kelima, keputusan RUPS adalah suatu keputusan dari (para) pemegang saham PT yang berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUPT dalam suatu forum RUPS untuk memutuskan hal-hal tertentu yang berkaitan 'dengan kepentingan PT', bukan dalam rangka kepentingan pemerintah dalam rangka menjalankan tugas TUN-nya.

Hak suara pemegang saham negara yang diwakili oleh Meneg BUMN dalam forum RUPS timbul karena hak perdata (korporasi) sebagai pemegang saham, bukan karena kedudukannya sebagai Meneg BUMN. Dengan kata lain, PP No.64/2001 dikeluarkan adalah konsekuensi dari kedudukan negara sebagai pemegang saham, dan bukan konsekuensi dari kedudukan Meneg BUMN sebagai pejabat TUN

Oleh karena itu, hak suara yang dituangkan dalam SK Meneg BUMN dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham dalam forum RUPS untuk mengangkat anggota Direksi dan Komisaris Telkom adalah bukan sebagai Keputusan TUN, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU TUN).

Kesimpulan

Hak suara yang dimiliki oleh pemegang saham Persero yang berdasarkan UUPT, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 3 UU No.9/1969 juncto Pasal 3 PP No.12/1998, tunduk pada UUPT adalah merupakan hak perdata (korporasi), siapapun itu pemegang sahamnya, baik negara maupun nonnegara.

Konsekuensi yuridis atas prinsip tersebut adalah SK Meneg BUMN tentang Pengangkatan dan Pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris pada Persero (dalam hal ini Telkom) tersebut di atas adalah Meneg BUMN dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham Persero yang timbul dari hak perdata (korporasi) ini adalah bukan merupakan Putusan TUN.

Dengan demikian, kompetensi absolut dari sengketa yang timbul antara Rahadjo Tjakraningrat selaku penggugat dengan Meneg BUMN selaku tergugat yang mengeluarkan SK tersebut adalah bukan dalam Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara, melainkan termasuk dalam Kompetensi Pengadilan Umum.

Sulistiono adalah konsultan hukum yang bekerja pada kantor hukum di Jakarta.

 

Tulisan di atas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat kantor hukum tempat penulis bekerja.

Tags: