Keppres, Kunci Penentu Operasi Militer
Berita

Keppres, Kunci Penentu Operasi Militer

Penetapan lewat Keppres sesuai UU TNI.

ADY
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf. Foto: SGP
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf. Foto: SGP
Hampir di seluruh negara, tugas utama militer yakni menghadapi ancaman militer asing atau berperang. Kekuatan militer dibangun untuk mempertahankan wilayah negara dan kedaulatan negara.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan penting untuk menjaga agar aparat militer tetap profesional sehingga bisa menjalankan tugas utamanya tersebut dengan baik. Militer profesional adalah alat pertahanan negara.

Menurut Al Araf, agar profesional, militer tidak boleh masuk wilayah politik. Larangan terjun ke dunia politik praktisi itu ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) UU TNI.

Imparsial melihat tren sebaliknya beberapa tahun terakhir. Imparisla menilai masih ada anggota TNI yang diduga terlibat dalam kegiatan politik praktis. Misalnya, dalam Pilkada di Kepulauan Riau pada Desember 2015. Imparsial mendapat laporan tentang oknum Kodim diduga terlibat politik praktis. Ada upaya penangkapan oleh oknum militer di Batam terhadap koordinator saksi dan pengerahan pasukan dalam TPS. Diduga kegiatan itu terkait dukungan terhadap salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.

Mulai masuknya militer ke ranah sipil menurut Al Araf juga terlihat lewat nota kesepahaman (MoU) yang dijalin antara TNI dengan puluhan instansi pemerintahan. Menurutnya otoritas sipil harus mengevaluasi tindakan itu karena melanggar UU TNI. Pengerahan aparat TNI itu tergolong dalam operasi militer selain perang (OMSP).

Mengacu Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, kata Al Araf, OMSP hanya bisa dilakukan jika ada kebijakan dan keputusan politik negara. Kebijakan itu dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bentuk keputusannya pun harus keputusan presiden (Keppres). Artinya, operasi militer demikian ditentukan oleh Presiden. "Pelaksanaan operasi militer selain perang itu tidak bisa berlandaskan MoU, tapi harus melalui Keputusan Presiden," katanya dalam diskusi di Universitas Paramadina Jakarta, Kamis (14/1).

Jika OMSP itu dilakukan tanpa keputusan Presiden maka itu menjadi masalah hukum karena bertentangan dengan UU TNI. Jika otoritas sipil tidak tegas mengevaluasi maka akan merusak demokrasi. Al berpendapat OMSP yang dilakukan secara berlebihan membuka ruang politik baru bagi militer. Untuk memperkuat peraturan mengenai OMSP, Al mengusulkan agar dibentuk UU Tugas Perbantuan. Sehingga dapat diatur lebih jelas tentang pengerahan aparat militer dalam OMSP.

Marsekal Muda TNI (Purnawirawan), Koesnadi Kardi, mencatat reformasi sektor keamanan dan pertahanan dimulai sejak 1998. Pada 5 Oktober 1998 Wiranto yang menjabat sebagai Menhankam/Pangab mengumumkan lembaga yang dia pimpin melakukan reformasi internal. Dari proses reformasi itu tercatat ada 31 perubahan di tubuh TNI seperti kultur, struktur, doktrin dan organisasi. Kemudian TNI Angkatan Udara mengubah doktrin mereka pada 17 Oktober 2000, Angkatan Laut 23 Februari 2001 dan Angkatan Darat 15 Desember 2001.

Setelah 10 tahun sejak reformasi bergulir ada yang menganggap reformasi TNI sudah selesai, dan sebagian lagi menganggap sebaliknya. Koesnadi berpendapat hubungan yang demokratis antara sipil dan militer sejak reformasi sampai sekarang belum berjalan baik. Itu terlihat dari Kementerian Pertahanan yang didominasi oleh militer. Harusnya pejabat eselon I Kementerian Pertahanan mayoritas dijabat oleh kalangan sipil. "UU TNI dan UU Pertahanan menegaskan TNI berada di bawah otoritas sipil (Kementerian Pertahanan)," ujarnya.

Menurut Koesnadi, otoritas sipil harus memperbaiki kondisi itu sehingga hubungan sipil dan militer bisa demokratis. Sebagai lembaga yang salah satu fungsinya melakukan pengawasan, DPR dinilai tepat untuk melaksanakan hal tersebut.
Tags:

Berita Terkait