Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu Diatur Ulang
Berita

Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu Diatur Ulang

Harapan bertumpu pada OJK.

FNH
Bacaan 2 Menit
Dirut PT BCA Tbk, Yahya Setiaatmaja (tengah) dalam acara di Economic Outlook bersama Komisi XI DPR. Foto: Sgp
Dirut PT BCA Tbk, Yahya Setiaatmaja (tengah) dalam acara di Economic Outlook bersama Komisi XI DPR. Foto: Sgp

Tak bisa dipungkiri, beberapa sektor penting di Indonesia sudah dikuasai pihak asing seperti perbankan dan pertambangan. Buktinya, banyak bank-bank milik swasta asing yang hidup di Indonesia. Keleluasaan asing untuk berinvestasi di Indonesia juga didukung oleh beberapa policy yang memberikan peluang besar untuk asing. Meski pemerintah mengatakan akan memperjuangkan kepentingan nasional, tetapi arus masuknya asing semakin besar.

Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat menjawab kegelisahan publik atas penguasaan asing di Indonesia. Apalagi, pemerintah memberikan peluang kepemilikan saham maksimal sebesar 99 persen kepada pihak asing pada sektor perbankan.

Sebagian ekonom menilai, kepemilikan asing sebesar 99 persen pada bank di Indonesia akan lebih baik ketimbang dimiliki oleh konglomerasi. Pasalnya, krisis ekonomi pada 1998 silam dipicu oleh dikuasainya sektor perbankan oleh konglomerasi. Namun disisi lain, kepemilikan saham maksimal 99 persen dinilai memberikan keleluasaan kepada asing.

Di balik banyaknya bank asing yang masuk ke dalam negeri, ada harapan tersendiri dari perbankan Indonesia untuk mengoptimalkan asas resiprokal guna mempermudah perbankan Indonesia membuka cabang di luar negeri. Harapan ini tak hanya ditumpukan kepada Bank Indonesia (BI), tetapi lebih ke OJK.

Namun, Direktur Utama PT Bank Central Asia, Tbk (BCA), Yahya Setiaatmaja berpendapat, sebaiknya pemerintah dan DPR tidak perlu terlalu mengoptimalkan asas resiprokal tersebut. Pasalnya, pihak luar negeri sudah jelas membentengi bank nasionalnya dengan berbagai policy yang mempersulit masuknya bank asing ke negaranya (luar negeri-Red). Jika pemerintah tetap berusaha untuk menerapkan keinginan tersebut, kesulitannya berada pada pihak luar negeri yang dipastikan enggan merubah policy yang mereka miliki.

Yahya mengusulkan, ada baiknya pemerintah dan DPR memperbaiki aturan kepemilikan asing pada sektor perbankan di Indonesia, terutama OJK. Sejauh ini, kewajiban yang harus dilakukan oleh bank nasional tidak diwajibkan untuk bank asing. Hal tersebut perlu menjadi acuan DPR dan pemerintah dalam merumuskan RUU Perbankan serta bagi OJK dalam mengeluarkan policy.

"Sebaiknya bisa fokus atur ulang tentang kepemilikan asing atau bank asing di dalam negeri," kata Yahya kepada hukumonline saat ditemui usai Economic Outlook bersama Komisi XI DPR di Komplek Senayan Jakarta, Selasa (22/1).

Menurutnya, sejauh ini bank BUMN serta bank swasta nasional diwajibkan membuka kantor cabang di daerah. Dengan adanya OJK, diharapkan dapat memberikan kewajiban yang juga sama kepada bank asing yang akan masuk ke Indonesia, termasuk DPR dan pemerintah dalam merumuskan RUU Perbankan.

"Misalnya dia (bank asing-Red) mau buka di Indonesia khususnya Jakarta, juga harus diberikan kewajiban yang sama untuk buka kantor cabang di daerah terpencil," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan, sejauh ini DPR belum bisa memastikan apakah akan mengurangi kepemilikan saham asing pada perbankan atau tidak. Hal tersebut masih menjadi pembahasan oleh DPR bersama dengan pemerintah dan stakeholder. DPR juga akan terus berkomunikasi dengan OJK untuk mengkaji kepemilikan asing pada sektor perbankan ini.

"Masih dibicarakan, apakan nanti akan diatur di dalam RUU Perbankan atau OJK mengeluarkan policy sendiri," kata Harry.

Ketika dimintai pendapat mengenai bahaya keberadaan asing sebesar 99 persen pada sektor perbankan yang dikhawatirkan akan membahayakan bank nasional, Harry menjawab ringkas. Menurutnya, jika hal tersebut bisa membahayakan bank nasional, maka seharusnya pemerintah mencabut PP yang mengatur mengenai hal tersebut. Tetapi buktinya, hingga saat ini pemerintah tetap menjalankan PP tersebut.

"Buktinya pemerintah belum mencabut PP itu. Apa ini berarti pemerintah pro asing,” katanya.

Tetapi, jika DPR melakukan pengurangan kepemilikan saham asing pada RUU Perbankan, harus ada mekanisme yang jelas. Pasalnya, Harry menilai tidak dimungkinkan aturan tersebut diberlakukan bagi bank asing yang sudah ada sebelum RUU Perbankan ini disahkan nantinya.

Namun, jika bank asing tetap diberikan keleluasaan kepemilikan saham seperti saat ini, Harry mengatakan bank yang bersangkutan harus dipastikan akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk itu, perlu indikator-indikator guna mengukur manfaat keberadaan bank asing di Indonesia. Indikator-indikator tersebut tengah dibahas oleh DPR.

"Tidak apa-apa mereka memiliki saham maksimal 99 persen, tetapi harus ada manfaatnya. Selama ini manfaatnya tidak jelas karena tidak ada indikatornya," pungkas politisi Partai Golkar ini.

Tags: