Kepastian Hukum Tax Amnesty Dikhawatirkan Seperti BLBI
Berita

Kepastian Hukum Tax Amnesty Dikhawatirkan Seperti BLBI

Peserta pengampunan denda pajak memiliki kepastian hukum lantaran didasari undang-undang.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyebutkan kepastian hukum kebijakan penghapusan denda pajak (tax amnesty) dikhawatirkan seperti kasus penerimaan Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).

 

Heri menilai kemungkinan untuk mempermasalahkan kembali harta dari peserta tax amnesty berpotensi terjadi. "Bisa terjadi jika ditemukan bukti baru yang tidak dilaporkan, semua bisa mungkin (terjadi)," kata Heri seperti dikutip Antara, Selasa (28/11).

 

Hal lainnya, menurut Heri, jika peserta tax amnesty ada yang lupa saat melaporkan harta kemudian ditemukan saat penyelidikan dan penyidikan maka akan dikenakan sanksi dan denda sesuai aturan berlaku.

 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165 Tahun 2017 tentang Pengampunan Pajak yang menggulirkan penghapusan denda pajak namun disertai pemeriksaan aset wajib pajak (WP).

 

Menurut Bhima, penghapusan denda pajak disertai pemeriksaan aset yang dikhawatirkan sebagian WP karena tidak ada kepastian hukum terlebih PMK tersebut menyasar para wajib pajak yang sebelumnya sudah mengikuti tax amnesty.

 

Bhima menuturkan jeda waktu antara batas akhir laporan tax amnesty dengan penerbitan PMK Nomor 165 Tahun 2017 berpotensi adanya selisih nilai aset para peserta penghapusan denda pajak. "Hal ini yang kemungkinan akan disasar kembali Ditjen Pajak untuk dipermasalahkan kembali," ujar Bhima.

 

Bhima mengemukakan para WP terindikasi akan senasib dengan obligor BLBI mendapatkan SKL yang dianggap menyalahi aturan lantaran karena ketidaksesuaian nilai hitung. (Baca Juga: DJP: 64 Nama "Paradise Papers" Lapor SPT)

 

Sementara itu, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengungkapkan peserta pengampunan denda pajak memiliki kepastian hukum lantaran didasari undang-undang. "Undang-undang sudah menjamin kalau ikut tax amnesty dengan jujur dan mendapatkan surat keterangan maka dijamin tidak akan diperiksa sehingga petugas pajak tidak boleh melakukan tindakan apapun," ujar Yustinus.

 

Kepala Subdirektorat Pemeriksaan dan Pengawasan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Tunjung Nugroho, memastikan tidak akan memeriksa kembali pajak dari peserta tax amnesty namun tetap diawasi sesuai Pasal 18 Undang-Undang tentang Tax Amnesty. "Yang dilihat hartanya tapi pajaknya tidak boleh karena untuk mengecek (hartanya) sudah dilaporkan semua atau belum," ungkap Tunjung.

 

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017 bisa mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan aset dan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. "Ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kepatuhan dan memberikan keyakinan bahwa patuh itu lebih baik," kata Sri Mulyani dalam sosialisasi pelaksanaan PMK 165 di Jakarta, Senin (27/11).

 

Sri Mulyani mengatakan penerbitan peraturan ini memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak yang selama ini belum memenuhi kewajiban perpajakan dengan tepat agar tidak terkena sanksi dari otoritas pajak. (Baca Juga: Salah Kaprah Soal Pengampunan Pajak 'Jilid II')

 

Namun, bagi Wajib Pajak yang masih abai terhadap pelaksanaan hukum dari peraturan terkait perpajakan, otoritas pajak tidak segan-segan untuk menerapkan denda yang berat, apabila ditemukan aset yang belum dilaporkan. "Kami tidak akan segan-segan menerapkan sanksi tersebut, karena itu sudah disampaikan dalam UU Pengampunan Pajak dan sudah disampaikan berulang-ulang," ujar Sri Mulyani.

 

Sementara itu, bagi Wajib Pajak yang selama ini sudah patuh dan taat, Sri Mulyani meminta kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan apresiasi dan pelayanan yang optimal. "Patuh itu mudah, patuh itu tidak dipersulit, patuh itu harus optimal, patuh itu jangan dipersukar, harus dilayani dengan baik," ujarnya.

 

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017 yang berlaku efektif sejak 20 November 2017 mengatur dua hal yang berbeda. Pertama, pemberian kemudahan bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Final.

 

Menurut peraturan ini, Wajib Pajak tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas dan cukup menggunakan Surat Keterangan Pengampunan Pajak untuk memperoleh fasilitas pembebasan PPh atas balik nama aset tanah atau bangunan yang diungkap dalam program amnesti pajak.

 

Dengan demikian, Wajib Pajak yang semula harus mengurus Surat Keterangan Bebas PPh Final di KPP dengan persyaratan berlaku, hanya cukup menyerahkan foto kopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional.

 

Kedua, prosedur perpajakan bagi Wajib Pajak yang ingin melaporkan aset tersembunyi dan belum tercatat dalam SPT Tahunan, sebelum aset tersebut ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengungkapan aset sukarela dengan tarif pajak final ini memberikan kesempatan bagi seluruh Wajib Pajak yang belum melaporkan harta sepenuhnya dalam SPT Tahunan 2015 maupun Surat Pernyataan Harta pada program amnesti pajak.

 

Tarif pajak penghasilan tersebut adalah sebesar 25 persen untuk kelompok Wajib Pajak Badan, 30 persen untuk Kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi dan 12,5 persen bagi kelompok Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi yang memenuhi persyaratan.

 

Direktorat Jenderal Pajak memastikan Wajib Pajak yang mengungkapkan sendiri aset tersebut sebelum ditemukan, maka ketentuan sanksi dalam Pasal 18 UU Pengampunan Pajak tidak berlaku apabila prosedur pelaporan sukarela ini dilakukan.

 

Tags:

Berita Terkait