Kepastian Hukum Menjadi Kunci Sukses Proyek PPP
Berita

Kepastian Hukum Menjadi Kunci Sukses Proyek PPP

Pemerintah membutuhkan swasta tapi minim perlindungan.

M-7
Bacaan 2 Menit
Kepastian hukum jadi kunci sukses proyek PPP. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Kepastian hukum jadi kunci sukses proyek PPP. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Kepastian hukum berusaha di Indonesia masih menjadi pertanyaan besar bagi penanam modal. Mereka menyebutkan masih ada beberapa peraturan yang saling tumpang tindih, terutama sejumlah Peraturan Daerah dengan peraturan lebih tinggi.

“Sudah lama keluhan ini tak berujung tuntas,” ungkap Ida Bagus Rahmadi Supancana, Chairman Pusat Kajian Regulasi, saat dalam sebuah dialog interaktif bertajuk '“Kepastian Hukum Dalam Proyek Investasi Kerjasama Pemerintah-Swasta”, di Hotel Ritz Carlton Jakarta, Senin (09/08).

Supancana mengungkapkan, dari sisi pembangunan infrastruktur, investasi di sektor ini di Indonesia memang mendesak. Karena minim anggaran, pemerintah membuka pintu keterlibatan swasta untuk turut andil mengisi kebutuhan tersebut.

Dia sampaikan, pada periode 2005-2009, kebutuhan anggaran bagi penyediaan infrastruktur sebesar AS$145 milliar atau setara dengan Rp1,303 triliun. Kemampuan pemerintah hanya mampu sebesar 17 persen, atau hanya mencapai angka AS$25 milliar setara dengan kisaran Rp225 triliun. Sisanya, diharapkan bisa diperoleh dari pihak swasta.

Sementara itu, untuk periode tahun 2010 sampai 2014 diperlukan pembiayaan sebesar Rp1.429 triliun, dimana yang mampu dipenuhi dari APBN hanya sekitar Rp451 triliun, sisanya sebesar Rp978 triliun bersumber dari kalangan swasta. “Dari data tersebut, menunjukkan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KSP) adalah kebutuhan mutlak,” tandas Supancana.

Namun, lanjut Supacana, KSP atau Public Private Partnership (PPP) ini kurang diminati oleh investor. Belum lagi kesiapan pemerintah yang dinilai minim. Ini tampak dari 100 proyek infrastruktur yang ditawarkan melalui konsep 'PPP Book Bappenas', hanya 1 yang siap ditawarkan, 27 prioritas dan 72 potensial.

Menurut Supancana, minimnya minat investor disebabkan rendahnya dukungan dan jaminan dari pemerintah. Belum lagi, pembagian risiko (burden sharing) bisnis yang tidak seimbang sehingga kelayakan proyeknya menurun. Ditambah, tidak jelasnya aturan mengenai proses dan prosedur kerjasama atau tender, khususnya bagi proyek yang sepenuhnya dibiayai oleh swasta, sehingga ada kekhawatiran terjadi proses kriminalisasi terhadap investor.

Dia juga menyebutkan adanya beda pendapat mengenai pelaksanaan PPP di pusat dan daerah membuahkan ketidakpastian berusaha. Supancana mencontohkan, untuk kerjasama antara pemerintah dan badan usaha, pemerintah pusat menggunakan dasar hukum Perpres No 67 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah menjadi Perpres No 13 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Sementara itu, di daerah, dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Supancana menyatakan ketentuan ini dikuatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Dengan Daerah.

Apabila pemerintah pusat dan daerah sama-sama menggunakan Perpres No 13 Tahun 2010, perbedaan tersebut dapat dipendam. Misalnya, mengenai proyek yang diminta sendiri oleh pemerintah ke swasta, agar swasta mengajukan proposal akan mendapat perlakukan-perlakuan khusus.

Senada dengan Supancana, Senior Economist Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan mengungkapkan dari segi perbankan, pengucuran kredit tidak sulit bagi bank untuk proyek infrastruktur. Karena, sepanjang invetasi tersebut memberikan profit, maka perbankan akan terus meliriknya.

Namun, kredit tersendat karena bank menilai kepastian dari proyek itu sendiri belum terjamin. Apalagi yang terkait dengan masalah pembebasan lahan. Karena biasanya, hanya 70 persen tanah yang bisa dibereskan oleh pemerintah, 30 persen sisanya kerap menimbulkan sengketa.

Direktur Deregulasi Badan Penanaman Modal BKPM, Indra Darmawan tak menampik hal tersebut. Indra mengakui, dari seratus proyek PPP di bidang infrastruktur, hanya satu yang siap ditawarkan. Masalahnya lagi-lagi ada di pembebasan lahan.

Oleh sebab itu, dalam waktu dekat, BKPM, Bappenas dan Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian beserta Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan segera membahas Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. “Tahun ini diharapkan segera disahkan,” tandasnya.

Pemerintah sendiri, lanjut Indra akan terus berupaya memberikan dukungan kepada investor. Itu ditunjukkan dengan membatalkan sejumlah Perda bermasalah, dan menghambat investasi.

Mengenai perizinan, Indra menyatakan pemerintah telah membentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dimana ada empat belas Kementerian yang memberikan kewenangan kepada BKPM untuk memberikan izin investasi agar lebih cepat. “Mungkin akan dibentuk lembaga khusus memberikan perizinan,” tandas Indra.

 

Tags: