Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan
Utama

Kepastian Hukum dan Transparansi Pemerintah Soal Akuisisi Freeport Dipertanyakan

Isi dalam Head of Agreement tersebut dinilai tidak rinci sehingga berpotensi menimbulkan sengketa.

M Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyampaikan masih banyak hal-hal rinci yang harus diperjelas dalam perjanjian yang ditandatangani berupa HoA ini. Menurutnya, hasil negosiasi pada Agustus 2017 dan  Juli 2018 tidak banyak berubah walaupun pada saat ini nilai ambil alih kepemilikan telah disepakati sebesar AS$3,85 miliar.

 

Fabby mengingatkan bahwa AS$3,5 miliar merupakan pembayaran “participating interest” Rio Tinto di operasi saat ini dan AS$350 juta untuk FCX. Dengan fakta ini, dia meminta pemerintah memberikan klarifikasi atas klaim bahwa Indonesia telah menguasai 51% saham FI. Selanjutnya, dia juga meminta agar publik perlu mencermati tahapan perundingan berikutnya, termasuk pelaksanaan tanggung jawab FI untuk mengatasi kerusakan lingkungan dari operasi selama ini.

 

“Jangan sampai beban itu akan menjadi beban yang dialihkan kepada Inalum seiring dengan penguasaan mayoritas saham PT FI,” kata Fabby.

 

Manajer Advokasi PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho juga mendesak pemerintah untuk terlebih dahulu mengusut enam indikasi pelanggaran lingkungan yang dilakukan FI. Enam pelanggaran berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya FI yaitu mengenai penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi,  penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, hutang kewajiban dana pascatambang, dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah. Menurutnya, sejauh ini masalah-masalah tersebut belum menemui titik terang penyelesaian, padahal BPK telah menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan oleh Freeport jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp185,563 triliun. 

 

Kemudian, Aryanto juga meminta pemerintah menyelesaikan 47 pelanggaran lingkungan oleh FI berdasarkan temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) yang meliputi ketidaksesuaian operasi FI dengan rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL) serta FI tidak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan; Termasuk di antara polusi itu adalah limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

 

Sementara itu, Nurkholish Hidayat dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia – LOKATARU mengingatkan para pihak yang melakukan kesepakatan untuk tidak mengabaikan status dan kondisi para pekerja PT.Freeport Indonesia, khususnya 8400 pekerja yang mogok dan PHK sepihak oleh manajemen karena dianggap mangkir. Nurcholish menyesalkan absennya suara Pemerintah – khususnya Menteri Tenaga Kerja terkait nasib para pekerja yang mogok tersebut.

 

“Perhatian Pemerintah atas kondisi pekerja seharusnya sama besar dengan perhatian terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi’ imbuhnya Nurcholis yang juga menjadi wakil masyarakat sipil di EITI Indonesia. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait