Kepala Daerah “Nyapres” Seharusnya Mundur
Sidang MK:

Kepala Daerah “Nyapres” Seharusnya Mundur

Sesuai UU Aparatur Sipil Negara, pejabat negara termasuk jabatan kepala daerah.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Mualimin Abdi. Foto: RES
Mualimin Abdi. Foto: RES
Pemerintah menyatakan pejabat negara termasuk kepala daerah (gubernur/walikota/bupati) berhak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan seyogyanya mengundurkan diri dari jabatannya.Hal ini demi menjunjung etika tata pemerintahan dalam negara demokrasi.

“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di ruang sidang MK, Rabu (2/7).

Pemerintah menyadari dalam negara demokrasi terdapat hak untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk dapat memilih dan dipilih sebagai calon presiden. Namun, pejabat negara yang mundur setelah mengakhiri masa jabatannya ini akan sangat menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek bidang kehidupan.

Mualimin mengingatkan kualifikasi pejabat negara meliputi seluruh unsure penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Ini merujuk pada Pasal 122 huruf i UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Ini berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, materi UU yang mengatur berbeda, berlaku UU yang terbaru,” tuturnya.

Persamaan kedudukan
DPR, dalam keterangannya, lebih menekankan pentingnya persamaan kedudukan setiap warga negara termasuk pejabat negara terkait pencalonan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres).Sebab, pejabat negara memiliki peranan yang besar dalam jabatannya untuk bisa memberikan ketidakadilan saat dia menjadi seorang calon presiden.

Misalnya, ketika salah satu calon presiden melaksanakan agenda awal jalan sehat, tetapi berujung kekampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.“Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur yang berani menegurnya, apalagi melarangnya,” ujar anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.

Kondisi seperti itu, kata dia, jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain. Padahal, dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.

Bagi politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu, seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi."Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," harapnya.

Harus mundur
Seorang ahli yang sengaja dihadirkan pemohon, Irmanputra Sidin berpendapat kepala daerah mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.“Kepala daerah, seperti gubernur, wali kota, bupati beserta wakilnya merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi dan memiliki kewenangan,” kata Irman.

Menurut dia, secara teoritis dan merujuk putusan MK, hingga saat ini belum ada yang menyangkal seorang kepala daerah bukan pejabat negara. Irman melanjutkan pejabat negara harus mundur ketika menjadi calon presiden karena jabatan tersebut merupakan paling utama dalam sebuah negara yang bertanggung jawab terhadap sekitar 250 juta warga negara Indonesia.

“Menjadi calon presiden bukan sekadar berbicara dimensi hak politik warga. Namun panggilan konstitusional, sehingga warga negara yang menjadi calon presiden harus fokus dan totalitas mengurusnya,” kata Irman.

Sebelumnya, warga DKI Jakarta Yonas Risakota dan Baiq Oktavianty mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) berikut penjelasannya, dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pilpres lantaran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif yang mengakibatkan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon sebagai warga DKI.

Misalnya, Pasal 7 ayat (1) mensyaratkan gubernur yang mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden hanya harus meminta izin presiden, tidak harus mengundurkan diri. Namun, Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres mensyaratkan pejabat negara (menteri, pimpinan lembaga negara) yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 6 ayat (1) sepanjang pejabat negara tidak dimaknai ‘termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota’ dan membatalkan Pasal 7 UU Pilpres.

Pencalonan Jokowi dinilai mengkhianati pemohon yang telah memberi kepercayaan memimpin DKI Jakarta. Kalau pemegang jabatan politik (kepala daerah) tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil resiko. Hal ini menimbulkan ketidakpastian masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun.
Tags:

Berita Terkait