Kepailitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Kepailitan SPV dalam Transaksi KIK-EBA

Di Indonesia belum ada perusahaan yang melakukan penerbitan KIK-EBA. Umumnya para pemodal masih memiliki keraguan akan unsur profitibilitas dari KIK-EBA.

Bacaan 2 Menit

 

Sebagai persekutuan perdata, maka manajer investasi dan bank kustodian selaku sekutu pada KIK-EBA (SPV) dapat dimintakan pertanggungjawaban secara tanggung renteng terhadap kegiatan persekutuan, termasuk dimintakan pailit. Tentu saja dengan tetap memperhatikan Pasal 2 ayat (3) jo (4) UU Kepailitan.

 

C. SPV SEBAGAI PERSEROAN TERBATAS

Salah satu praktisi dan akademisi di bidang hukum pasar modal telah mengakui bahwa SPV bukanlah suatu lembaga yang memperoleh keistimewaan sebagai suatu institusi yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh otoritas tertentu (DR. Gunawan Widjaja, Paramitha Sapardan. Asset Securitization. Hlm. 142). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama SPV didapati mempunyai lebih dari satu kreditur, maka berdasarkan teori ini, SPV, seperti halnya debitur lain dapat dimohonkan pailit.

 

Pasal 7 ayat (2) Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan menyatakan bahwa: Dalam hal efek beragun aset berupa surat partisipasi, kumpulan piutang merupakan milik bersama pemodal yang tidak terbagi. Melalui pasal a quo, maka global note yang diterbitkan SPV dapat dikategorikan sebagai milik bersama para investor, dan para investor hanya memiliki satu bagian dari milik bersama ini, yang dalam penjelasan Peraturan Presiden a quo menyatakan konsekuensi kepemilikan bersama ini adalah pelaksanaan hak tagih harus dilakukan secara bersama-sama.

 

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 UU Kepailitan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

 

Pasal 1 butir 6 UU Kepailitan menyatakan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

 

Melalui definisi kreditur dan utang UU Kepailitan, ternyata dapat dibaca bahwa hanya karena investor KIK-EBA memiliki satu bagian saja dari sebuah global note, bukan berarti masing-masing investor bukanlah kreditur terhadap SPV, karena dalam UU Kepailitan tidak dikenal pemecahan utang. Sebab bagian dari global note tersebut dapat dinyatakan dalam sejumlah uang baik secara langsung maupun kontinjen karena adanya perjanjian antara SPV melalui wali amanat dengan para investor. Karena SPV memiliki utang terhadap setiap bagian global note yang dimiliki masing-masing investor, maka berdasarkan UU Kepailitan dapat dikatakan jumlah kreditur SPV adalah sejumlah investor yang memiliki bagian dalam KIK-EBA yang diterbitkannya.

 

Mengingat definisi utang dalam Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dan peraturan tentang EBA sejenis ternyata berseberangan dengan UU Kepailitan. Sehingga patut dipikirkan apabila terjadi sengketa antara investor dengan SPV yang berujung dengan pengajuan permohonan pailit, peraturan mana yang harus digunakan oleh Pengadilan Niaga? Apakah permohonan harus ditolak atau diterima?

Halaman Selanjutnya:
Tags: