Kendala Pengadilan yang Menghambat Kenaikan Peringkat Kemudahan Berusaha
Utama

Kendala Pengadilan yang Menghambat Kenaikan Peringkat Kemudahan Berusaha

Seperti masih belum dapat membedakan gugatan sederhana dengan perdata biasa, hingga biaya perkara dan advokat yang relatif tinggi dalam penanganan perkara gugatan sederhana yang menelan 74 persen dari nilai utang yang ditetapkan sebesar Rp 113,393,581.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Hakim Agung Syamsul Ma'rif (kiri) bersama Ketua MA M. Syarifuddin dan Ketua Kamar Perdata MA I Gusti Agung Sumanatha saat webinar terkait peningkatan peringkat kemudahan berusaha dalam perspektif peradilan, Jum'at (23/4/2021). Foto: Humas MA
Hakim Agung Syamsul Ma'rif (kiri) bersama Ketua MA M. Syarifuddin dan Ketua Kamar Perdata MA I Gusti Agung Sumanatha saat webinar terkait peningkatan peringkat kemudahan berusaha dalam perspektif peradilan, Jum'at (23/4/2021). Foto: Humas MA

Tahun ini, Mahkamah Agung (MA) tengah melakukan survei tingkat kemudahan berusaha di 2 Pusat Kegiatan Ekonomi Terbesar yakni Jakarta dan Surabaya. Kuesioner dan interview sudah disebar kepada kontributor, seperti hakim, praktisi, pelaku usaha yang dikembalikan pada 28 April 2021. Survei ini dalam upaya menopang/mendukung peningkatan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia terkait kewenangan pengadilan terutama ketika para pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak di pengadilan.

Ada dua parameter kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) yang beririsan dengan kewenangan peradilan yakni penegakan kontrak (enforcing contract) dan penyelesaian kepailitan (resolving insolvency). Secara umum dalam survei pada 2020, Indonesia masih menduduki peringkat 73 dari 190 negara. Pemerintah mentargetikan peringkat ke-40 kemudahan berusaha pada 2024 dan jangka panjang mentargetkan peringkat ke-10 pada 2045.       

Hakim Agung Syamsul Ma’rif menerangkan survei kemudahan berusaha pertama kali dilakukan tahun 2004 oleh tim Global International Finance Coporation/World Bank Group (WBG). Survei global meliputi sampel dari 190 negara, yang intinya survei komparasi peraturan. Ada 10 parameter yang dinilai, memulai usaha, pendaftaran hak kekayaan intelektual, penegakan kontrak, hingga penyelesaian kepailitan yang berujung berakhirnya sebuah usaha.

Survei tidak bicara tentang kemudahan berusaha bagi korporasi skala besar, tapi lebih fokus kepada kemudahan berusaha bagi UMKM.Khusus enforcing contract, pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-146 dan tahun 2020 menduduki peringkat ke-139. Untuk resolving insolvency pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-36 dan tahun 2020 menduduki peringkat ke-38,” ujar Syamsul Ma’rif dalam webinar bertajuk “Meningkatkan Peringkat Kemudahan Indonesia – Perspektif Peradilan”, Jum’at (23/4/2021) kemarin.

Syamsul mengaku dalam kegiatan survei terdapat berbagai persoalan dalam pengisian kuesioner dan hal lain yang menyebabkan atau mempengaruhi hasil survei terkait tingkat kemudahan berusaha di Indonesia. “Dalam beberapa tahun melakukan survei, ditemukan beberapa persoalan yang menyebabkan hasil survei kemudahan berusaha belum meningkat di pengadilan, salah satunya para pengisi survei belum dapat membedakan mana gugatan sederhana dan gugatan perdata biasa,” kata Syamsul. (Baca Juga: MA Berupaya Dorong Peningkatan Peringkat Kemudahan Berusaha)

Padahal selama ini MA berupaya dan fokus pada gugatan sederhana untuk mendorong peningkatan kemudahan berusaha. Survei ini tidak berbicara perkara besar, tetapi berfokus pada nilai objek gugatan sekitar 100 jutaan. Sebab, biaya penyelesaian sengketa perkara dalam skenario survei senilai Rp 113,393,581.    

“Ini perlu mendapat perhatian, masih terdapat gap yang belum dapat membedakan mana gugatan sederhana dan perdata biasa?” tegasnya.   

Dia melanjutkan parameter yang menjadi tanggung jawab MA, ada 7 hal pembaharuan yang belum diakui dapat mempengaruhi peningkatan kemudahan berusaha, yakni nilai biaya perkara; waktu penyelesaian perkaral; E-Filing (pendaftaran gugatan secara elektronik), E-Payment (pembayaran biaya perkara secara elektronik), E-Summon (panggilan sidang secara elektronik), dan penerbitan putusan.

“Dalam E-Filling belum diakui, karena responden masih mengatakan permohonan elektronik masih harus dilanjutkan dengan penyerahan dokumen fisik ke Pengadilan. E-Payment, pembayaran elektronik masih harus dilanjutkan dengan penyerahan bukti bayar ke Pengadilan,” kata Syamsul.  

Menurut Syamsul, skor indikator penegakan kontrak dalam skenario EoDB ialah menggunakan waktu, biaya dan kualitas akses proses peradilan. Misalnya, Indonesia memerlukan waktu 390 hari untuk menyelesaikan sengketa dari pengajuan gugatan sampai penerimaan pembayaran. Sedangkan Singapore membutuhkan 164 hari dan Malaysia 425 hari.

Terkait biaya perkara dan advokat, Indonesia masih tertinggi dibandingkan Singapore, Malaysia, dan Thailand. Misalnya, biaya perkara dan advokat sebesar 74,0 persen dari nilai utang, Sedangkan Singapore, Malaysia, dan Thailand hanya 25,8 persen, 37,9 persen, dan 16,9 persen dari nilai utang.

“Disini, Biaya advokat di Indonesia masih terhitung tinggi. Semoga nanti ada solusi dari teman-teman advokat untuk dapat membantu meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia,” harapnya.

Untuk indikator kualitas proses peradilan yakni struktur peradilan dan hukum acara; manajemen perkara; otomasi perkara dan alternatif penyelesaian sengketa. Indonesia mendapat skor 9 dari 18; Singapore 15.5 dari 18; Malaysia 13 dari 18; dan Thaliand 8.5 dari 18.

Selain itu, WBG belum sepenuhnya mengakui Perma No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Gugatan Sederhana sebagai mekanisme yang memenuhi kriteria survei kemudahan berusaha. Sebab, responden di lapangan menyatakan perkara gugatan sederhana tidak dapat melibatkan adanya saksi ahli untuk menilai kualitas barang sebagaimana disebutkan dalam Perma.

Oleh karena prosedur gugatan sederhana tidak dianggap masuk dalam skenario, maka argumen tentang biaya juga tidak dapat diterima. WBG tetap menggunakan data biaya yang lama yakni biaya advokat menghabiskan 50 persen dalam dalam skenario 2020. Padahal, harapan pemerintah berdasakan prosedur gugatan sederhana mematok biaya advokat 10,58 persen. Biaya perkara dan eksekusi dalam skenario 2020 sebesar 13 persen, tapi harapan pemerintah 2,28 persen.

Dengan begitu, total biaya advokat, biaya perkara dan eksekusi, dan biaya eksekusi (11 persen) sebesar 74 persen. “Biaya penyelesaian sengketa perkara dalam skenario survei senilai Rp 113,393,581.”

Untuk diketahui, kebijakan yang telah dikeluarkan MA untuk kemudahan berusaha diantaranya SK KMA Nomor 241 KMA/SK/IX/2020 Pembentukan Kelompok Kerja Penguatan Peradilan Dalam Rangka Koordinasi Peningkatan Kemudahan Berusaha; Perma 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan; Perma Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (mengganti Perma 4 Tahun 2015); Perma Nomor 1/2016 Tentang Mediasi.

Lalu, SEMA Nomor 2 Tahun 2016 Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan. SEMA No.2 Tahun 2016 ini mengatur kewajiban memperoleh persetujuan dari Kreditur dalam Penunjukan Kurator; penjelasan kembali jangka waktu penyelesaian kepailitan (±290 hari); kreditor bisa memperoleh informasi dari Kurator setiap saat; kewajiban pelaporan yang lebih baik. Selain itu, SEMA Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tags:

Berita Terkait