Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis
Utama

Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis

Ius constituendum yang perlu dipertimbangkan penerapannya di Indonesia. Jejak rekam pelaku kejahatan sangat penting.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perjanjian. Jaksa dapat menggunakan diskresinya untuk menangguhkan penuntutan melalui mekanisme DPA dan NPA. Ilustrator: BAS
Ilustrasi perjanjian. Jaksa dapat menggunakan diskresinya untuk menangguhkan penuntutan melalui mekanisme DPA dan NPA. Ilustrator: BAS

Proses hukum dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta oleh KPK secara tidak langsung telah membuat aktivitas proyek terhenti. Padahal proyek apartemen bernilai triliunan itu telah laku sekitar 150 ribu unit dengan kemampuan menyerap dana konsumen pada akhir 2107 sekitar Rp7,5 triliun dengan pendapatan pada triwulan pertama tahun 2018 sebesar Rp1,95 triliun. Ada pengurus dan karyawan perseroan yang terjaring operasi KPK, dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di meja hijau.

Terhentinya pengerjaan dan aktivitas penjualan tower atau unit yang telah atau sedang dibangun, berdampak pada banyak pihak. Konsumen berpotensi mengalami kerugian karena tidak dapat menempati unit yang sudah dipesan sesuai jadwal.

Dampak berupa kerugian akibat penegakan hukum terhadap kejahatan di sektor bisnis sebagaimana contoh di atas dapat saja bertambah jika aparat penegak hukum atau pemangku kepentingan lain tidak memperhatikan banyak hal. Pendekatan Economic Analysis of Law dari Richard Posner telah meletakkan dasar berfikir terkait cara pandang penegakan hukum dalam dunia bisnis.

Posner mengkaji bagaimana sebuah proses penegakan hukum tidak hanya memperhatikan aspek input dan output, tapi juga melihat dampak (outcome) dari sebuah proses penegakan hukum. Penegakan hokum terhadap korporasi dapat dijadikan contoh. Di Indonesia, penegakan hukum terhadap entitas korporasi terus mengalami kemajuan sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Sejak itu, peluang menjerat korporasi yang diduga melakukan kejahatan semakin terbuka. KPK sudah beberapa kali menetapkan tersangka korporasi.

(Baca juga: Kenali Esensi dan Penerapan Business Judgment Rule).

Di negara lain, diskursus mengenai efek ekonomi yang ditimbulkan oleh proses penegakan hukum sudah berkembang. Sebagai gambaran di Amerika Serikat, Jaksa atau Departement of Justice (DoJ) telah mempraktikkan mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Non Prosecution Agreement (NPA) sebagai bentuk pendekatan ekonomi dalam penegakan hukum. Mekanisme ini bertujuan untuk menghindari efek domino penggunaan instrument pidana dalam bisnis berikut dampaknya terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Selain Amerika Serikat, konsep yang sama juga sudah dipraktikkan di Inggris. Bila Amerika menyebut dengan DPA, Inggris menggunakan term injuction, dan Belanda mengenal konsep transactie.

Di Indonesia, konsep ini sedang menjadi pembicaraan di kalangan penegak hukum. Asisten Khusus Jaksa Agung, Asep Nana Mulyana, menulis sebuah buku berjudul Defeered Prosecution Agreement dalam Kejahatan Bisnis. Dalam kesempatan bedah buku tersebut, Asep menyebutkan DPA bermakna bahwa kewenangan tetap dimiliki jaksa untuk melakukan penuntutan, tapi jaksa bersepakat dengan entitas bisnis untuk tidak melakukan penuntutan.

Menurut Asep, penerapan konsep DPA selain memiliki kaitan erat dengan analisis ekonomi terhadap proses penegakan hukum, tapi juga memiliki akar dari penegakan hukum terhadap sejumlah tindak pidana ringan yang terjadi di Amerika Serikat. Tentu saja hal ini lebih mudah digunakan mengingat fiosofi keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana telah berkembang pesat.

(Baca juga: Menimbang Keadilan Restoratif untuk Kejahatan Korporasi).

Situasi berbeda dapat dilihat di Indonesia. Keadilan distributif yang masih menjadi dasar filosofi penegakan hukum pidana ternyata menunjukkan beberapa dampak yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Di bidang kejahatan ekonomi misalnya bisa ditemukan sejumlah contoh kasus. Selain suap perizinan proyek Meikarta, ada kasus Hambalang.

Asep berpendapat tetap dibutuhkan kriteria tertentu agar DPA tidak terkesan menyederhanakan proses hukum. Misalnya, ada permintaan dari pihak yang berperkara. Di beberapa negara, DPA atau njuction atau transactie, “dilaksanakan berdasarkan adanya permintaan dari salah satu pihak,” ujar Asep dalam acara bedah bukunya, Kamis (9/5) lalu, di Jakarta.

Pengadilan di AS dan Inggris dapat memerintahkan penundaan pemeriksaan. Tentu saja, sebagai bagian dari kompensasi terhadap keputusan penundaan tersebut, pelaku kejahatan perlu mengakui telah melakukan kesalahan sebagaimana yang disangkakan. Dengan begitu kepada pelaku dikenakan kewajiban membayar biaya perjanjian penangguhan dan denda, serta membayar biaya penyelidikan.

Menurut Asep, konsep peraturan yang responsif (responsive regulatory)tidak mengharuskan setiap pelanggaran harus diproses hingga ke pengadilan. Dasar berfikirnya adalah bagaimana meletakkan tanggung jawab untuk memelihara keharmonisan para pihak terkait. Responsive regulatoy juga menitikberatkan pada perbaikan pelaku tanpa harus melalui penuntutan dan penghukuman sepanjang palaku memiliki jejak rekamyang mendukung.

Selain itu, seberat apapun hukuman yang akan dijatuhkan harus dimulai dengan persuasi, peringatan tertulis, sanksi perdata, sanksi pidana, penangguhan ijin usaha, sampai pencabutan ijin usaha. Hal ini menjadi dasar berfikir konsep responsive regulatory dalam penanganan perkara tindak pidana ekonomi. Terang sekali pengaruh fisafat utilitas dalam kerangka penegakan hukum seperti ini: mengedepankan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; kesejahteraan; kedamaian; dan menekankan pada aspek kualitas atau dampak.

Ketua Badan Kerjasama Dekan Fakultas Hukum se-Indoensia, Farida Patitingi menilai, secara teori konsep DPA adalah suatu bentuk penegakan hukum pidana yang futuristik. Secara teori merupakan kajian berbobot bagi khazanah hukum di Tanah Air. Cuma, menerapkannya tak semudah membalik telapak tangan karena butuh infrastruktur, serta harus lebih dahulu diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan. “Apapun harus ada dulu bentuk hukum yang mewadahi,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini.

Secara substansi, DPA perlu memuat beberapa hal. Farida menyebutkan beberapa seperti, uraian fakta yang harus disampaikan oleh pelaku. Selain itu persetujuan pelaku kejahatan ekonomi untuk melakukan kerjsama dengan penuntut dalam hal ini jaksa. Lalu, ada jangka waktu perjanjian yang jelas, dan kewajiban pelaku dirinci secara detil dalam perjanjian.

Pasal 1320 KUH Perdata

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto mengurai akar persoalan dari penerapan DPA. Hubungan yang akan terbangun berupa perjanjian antara jaksa sebagai penuntut dengan pelaku kejahatan ekonomi.

Dalam konteks ini, Benny mengingatkan  Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat keabsahan perjanjian. Empat syarat sah perjanjian menurut pasal ini adalah sepakat para pihak; dilakukan oleh orang yang cakap secara hukum; ada hal tertentu; dan kausa yang halal. Menarik untuk melihat syarat kausa yang halal dalam penerapan DPA pada pelaksanaan perjanjian para pihak.

Menurut Benny, kausa yang menjadi penyebab terjadinya perjanjian antara penuntut dengan pelaku kejahatan ekonomi akan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Penundaan penuntutan terhadap seorang pelaku yang nota bene telah berstatus tersangka berdasarkan perjanjian menurut Benny harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian. “Salah satu pihaknya adalah tersangka yang melanggar Undang-Undang. Dengan dmeikian substansi yang diajukan bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata,” ujar Benny.

Untuk mengatasi masalah ini, Benny menyarankan agar jksa selaku penuntut menggunakan kewenangan diskresinya agar tidak tersandung dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata.

Mengenai kewenangan, asas nemo plus dalam hukum perdata mengatur sebuah tidakan tidak boleh melebihi kewenangan. KUHAP mengatur definisi penuntut umum sebagaimana yang disebutkan adalah jaksa, diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam penerapan DPA, jaksa membangun perjanjian dengan tersangka untuk menunda penuntutan. Pertanyaannya adalah, apakah jaksa tidak melampaui kewenangannya?

Jika jaksa memperjanjikan sesuatu dengan terdakwa dan tersangka maka konsekuensinya adalah kedudukan para pihak harus sama. Sementara pada posisi ini, kedudukan jaksa harusnya lebih tinggi dari terdakwa. Jika kedepan kemudian terjadi pelanggaran yang berkonsekuensi pada wan prestasi, bisakah tuntutan pidana yang sebelumnya telah ditunda dapat dihidupkan kembali? “padahal jika dikembalikan akan berdampak pada waktu proses yang semakin panjang dan mengabaikan kepastian dan kemanfaatan,” ujar Benny.

Selain itu, terdapat pula prinsip kebebasan berkontrak yang perlu diperhatikan. Unsur tidak melanggar undang-undang; tidak melanggar ketertiban umum; dan tidak melanggar kesusilaan harus terpenuhi secara kumulatif. Sementara sejak awal penegakan DPA menurut Benny erat kaitannya dengan pelanggaran terhadap undang-undang. Oleh karena itu, prinsip kebebasan berkontrak tidak bisa diterapkan.

Kembali kepada unsur kausa yang halal, menurut Benny juga banyak ditemukan di negara Anglo Saxon. Suatu kontrak dianggap mengikat sehingga melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak adalah kontrak yang telah sah dan dibentuk melalui penawaran, penerimaan, dan pertimbangan. Elemen lain yang harus dipenuhi sebagai salah satu unsur keabsahan berkontrak adalah intention to create a legal.  Oleh karena itu terdapat sejumlah element yan harus dipenuhi sebagai syarat sah nya suatu kontrak.

(Baca juga: BPHN Dorong Lahirnya RUU Perikatan).

Pertama, intention to create legal relation. Dalam hal ini para pihak yang berkontrak denagn sengaja bermaksud untuk membuat kontrak sehingga jika diabaikan maka kontrak yang telah dibuat oleh para pihak tidak dapat dilaksanakan. Kedua, offer dan acceptance. Penawaran merupakan sebuah eksepresi dari kesediaan untuk melakukan kontrak melalui syarat-syarat tertentu yang dibuat dengan maksud agar kelak kesediaan itu mengikat segera setelah disetujui para pihak.

Penerimaan dinyatakan sah jika disampaikan oleh orang yang mempunyai wewenang untuk melakukannya. Dalam hal ini orang yang diberi tawaran bertanggung jawab untuk meyakinkan bahwa penerimaan disampaikan orang yang memberi penawaran. Ketiga, consideration. Sistem Common Law mempersyaratkan consideration sebagai sesuatu yang harus ada sebagai syarat mengikat perjanjian.

Tags:

Berita Terkait