Kenaikan Upah Bisa Lewat Perundingan Bipartit
Berita

Kenaikan Upah Bisa Lewat Perundingan Bipartit

Upah minimum hanya ditujukan untuk pekerja lajang yang bekerja kurang dari satu tahun.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kenaikan Upah Bisa Lewat Perundingan Bipartit
Hukumonline

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, menegaskan kenaikan upah dapat dilakukan lewat perundingan bipartit yaitu antara pekerja dan pengusaha. Menurutnya, upah minimum hanya ditujukan bagi pekerja lajang yang masa kerjanya di bawah satu tahun. Itu sebabnya, pemerintah mendorong agar penetapan upah bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun atau telah berkeluarga dilakukan secara bipartit di tingkat perusahaan masing-masing. Lalu, penetapan upah itu dapat diatur lewat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perusahaan (PP).

“Penetapan Upah minimum merupakan social safety net yang berlaku khusus bagi pekerja lajang yang bekerja di bawah satu tahun. Di luar ketentuan itu, silahkan berunding secara bipartite di tingkat perusahaan,“ kata Muhaimin dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (18/11).

Muhaimin menyebut pemerintah, pengusaha dan pekerja sepakat menaikan upah secara bertahap. Namun untuk upah minimum, kenaikan rata-rata setiap tahun tidak dapat disamakan di seluruh provinsi. Sebab kenaikan upah minimum mempertimbangkan sejumlah indikator seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, daya beli, kebutuhan hidup pekerja dan kemampuan perusahaan di daerah masing-masing.

Lebih lanjut Muhaimin mengatakan kenaikan upah menjadi salah satu aspek penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja. Tapi hal itu harus diimbangi peningkatan produktivitas kerja sehingga perusaaan dapat berkembang dan menambah lapangan pekerjaan. Selaras hal tersebut usai penetapan upah minimum 2014 pemerintah mendorong terciptanya perundingan bipartit terkait besaran upah di masing-masing perusahaan.

Pemerintah, lanjut Muhaimin, telah berupaya mengakomodasi tuntutan kenaikan upah  pekerja. Antara lain lewat Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, dan Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Pemerintah juga mengimbau Gubernur di seluruh daerah untuk menerbitkan peta jalan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL) secara bertahap.

Terpisah, Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSP TSK), Indra Munaswar, mengusulkan agar upah diatur khusus dengan suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Menurutnya regulasi itu merupakan amanat pasal 97 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sepuluh tahun sejak UU Ketenagakerjaan terbit, pemerintah tak kunjung mengeluarkan peraturan tentang pengupahan tersebut. Malah, pemerintah menerbitkan regulasi yang tidak diamanatkan UU Ketenagakerjaan, seperti Inpres Penetapan Upah Minimum dan Permenakertrans tentang Upah Minimum.

Acuan yang digunakan menentukan upah minimum menurut Indra harus dibenahi, sehingga bukan hanya pertumbuhan ekonomi dan inflasi tapi juga meningkatkan daya beli pekerja. Misalnya, upah minimum di sebuah daerah pada tahun 2009 sebesar Rp1 juta atau dapat digunakan untuk membeli 20kg beras. Namun pada 2013 besaran Rp1 juta hanya dapat membeli 10kg beras. Hal itu menunjukan ada penurunan daya beli pekerja di tahun 2013. Oleh karenanya upah minimum harus ditujukan untuk mempertahankan daya beli pekerja sehingga pada tahun 2013 besaran Rp1 juta dapat digunakan untuk memperoleh 20kg beras.

Indra menjelaskan usulan itu bukan hal baru karena serikat pekerja sudah memperjuangkan agar daya beli pekerja digunakan sebagai acuan dalam menetapkan upah minimum sejak 1973. Sayangnya, Dewan Pengupahan ataupun Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional saat ini terlihat tidak membicarakan peraturan Pengupahan itu. Walau menggunakan daya beli sebagai patokan, Indra mengatakan komponen KHL tetap dibutuhkan dalam menetapkan upah minimum. Tapi sebelum menentukan KHL harus diketahui lebih dulu berapa besaran daya beli pekerja. “Kalau sekarang upah minimum nominalnya besar, tapi upah riil pekerja turun,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Selasa (19/11).

Selain itu dalam UU atau PP tentang Pengupahan dapat dicantumkan upah minimum untuk pekerja yang sudah berkeluarga. Tentu saja KHL yang digunakan berbeda dengan pekerja lajang. Untuk upah minimum pekerja yang berkeluarga dapat dikategorikan mengacu jumlah anak yang dimiliki pekerja. Dengan diaturnya upah minimum bagi pekerja lajang dan berkeluarga maka ada dasar yang digunakan perusahaan untuk mengupah pekerjanya. Setelah masuk dalam peraturan tentang Pengupahan barulah dilakukan perundingan antara pekerja dan pengusaha, berapa kenaikan upah di tingkat perusahaan.

Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi DPN Apindo, Hasanuddin Rachman, mengatakan perundingan bipartit dalam rangka kenaikan upah di tingkat perusahaan sudah semestinya dilakukan. Oleh karenanya ia menekankan pemerintah tidak perlu campur tangan lewat regulasi. Menurutnya dengan bipartit setiap pihak dapat mengetahui apa kelemahan dan keunggulan masing-masing secara tepat. Kemudian dijadikan rujukan dalam menaikan upah di tingkat perusahaan. “Pemerintah tidak perlu menerbitkan peraturan yang mengatur kenaikan upah di tingkat perusahaan,” ucapnya.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Krisnadwipayana sekaligus mantan Dirjen Binawas Kemnakertrans, Payaman Simanjuntak, mengatakan kenaikan upah yang dirundingkan di tingkat bipartit bisa dilakukan jika upah pekerja sudah di atas upah minimum. Ini berlaku bagi pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun ataupun berkeluarga. Bahkan, pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan kenaikan upahnya melalui perundingan bipartit jika sudah di atas upah minimum.

Payaman belum melihat urgensi pengaturan upah dalam tingkat UU atau PP. Ia berpendapat pemerintah hanya perlu menetapkan upah minimum. Sedangkan peraturan tentang pengupahan lainnya seperti skala upah diterbitkan di tingkat perusahaan. “Dilakukan secara bipartit,” pungkasnya.

Tags: