Kemensos Kecewa Tak Dilibatkan dalam Revisi UU TKI
Berita

Kemensos Kecewa Tak Dilibatkan dalam Revisi UU TKI

Padahal selama ini Kemensos berperan dalam upaya perlindungan TKI.

ADY
Bacaan 2 Menit
Terminal kedatangan khusus TKI  di Bandara Soekarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Terminal kedatangan khusus TKI di Bandara Soekarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)

Pemerintah dan DPR saat ini sedang merevisi UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (UU TKI). Dari pihak pemerintah, Presiden sudah menegaskan enam kementerian untuk merancang draf revisi itu. Di antaranya adalah Kemenakertrans, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP dan PA).

Kementerian Sosial (Kemensos) ternyata kecewa karena tak dimasukkan ke dalam enam kementerian yang ditugaskan oleh Presiden itu. Padahal selama ini Kemensos sudah ikut aktif menangani berbagai kasus yang menimpa TKI.

Direktur Korban Tindak Kekerasan dan Perlindungan Korban Kemensos Akifah Elansari menuturkan salah satu peran aktif Kemensos dalam upaya melindungi TKI adalah membangun Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Bahkan dalam kurun waktu tertentu Kemensos memulangkan ratusan TKI yang bermasalah di Malaysia. Dari pantauannya atas bermacam kasus yang menimpa TKI, Akifah berkesimpulan masalah utama TKI berasal dari masa prapenempatan.

Minimnya pembekalan yang diterima TKI menjadi biang keladi maraknya kasus yang menimpa TKI. Tak ketinggalan Arkifah mengakui tak jarang terdapat aparat pemerintah yang mengail di air keruh. Atas dasar itu dia berpandangan diratifikasinya konvensi pekerja migran dan revisi UU PPTKLN harus benar-benar memperhatikan hal tersebut.

Selain itu, Arkifah mengingatkan agar semua pihak, baik LSM ataupun lembaga pemerintah, jangan terlalu berkutat pada konsepsi perlindungan TKI. Pasalnya, hal utama yang harus dilakukan dalam melindungi TKI adalah gerak cepat dan nyata di lapangan untuk berbuat. Tanpa tindakan nyata maka perlindungan itu tak akan ada. “Jadi yang dibutuhkan itu action,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (1/2).

Pada kesempatan yang sama, Asdep Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan Kemen PP dan PA, Lenny Rosaline mengatakan perlu dibentuk sistem koordinasi antar lembaga pemerintahan yang kuat untuk melindungi TKI.

Pasalnya, Lenny melihat dalam menangani masalah TKI, koordinasi antar lembaga itu menjadi salah satu persoalan yang dapat menghambat perwujudkan perlindungan TKI. Misalnya, dalam menetapkan standar pelayanan minimal (SPM) yang digunakan di tiap lembaga sangat berbeda.  “Mulai dari perencanaan, pembiayaan dan pengevaluasian,” kata dia.

Lenny beralasan penguatan koordinasi di tiap tingkatan tersebut untuk menyesuaikan agar penanganan kasus TKI dapat dilakukan secara komprehensif. Dia khawatir ketika melakukan penanganan, lembaga terkait tak punya dana dan saling lempar tanggung jawab. Apalagi, kasus TKI biasanya cukup rumit karena melewati batas negara dan membutuhkan anggaran cukup.

Senada, Staf Dirjen Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Lalu Muhammad Ikbal, menguatkan pernyataan Lenny yang menyebut penanganan kasus TKI cukup rumit. Pasalnya, dengan memasuki wilayah negara yang berbeda, maka hukum yang berlaku pun ikut berbeda. Sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap mudah atau tidaknya penyelesaian masalah yang dihadapi TKI.

Misalnya, hukum ketenagakerjaan di negara tujuan TKI, seperti Timur Tengah, Ikbal mencatat hanya Yordania yang memposisikan pekerjaan PRT setara seperti pekerja formal. Sementara, negara Timur Tengah lain yang sangat banyak jumlah TKI yang bekerja sebagai PRT seperti Arab Saudi perlindungannya sangat lemah. Ujungnya, banyak kasus TKI yang bermunculan. Tapi jika negara tujuan TKI punya hukum yang baik untuk melindungi PRT, seperti Hongkong, maka jumlah kasus yang menimpa TKI tergolong lebih sedikit.

Ikbal berpendapat, bila negara tujuan TKI memposisikan PRT sama seperti pekerja formal maka hak-hak TKI terlindungi. Misalnya, ada hari libur dan jam kerja yang manusiawi.

Atas dasar itu, dalam rangka melindungi TKI, mengingat adanya hambatan yuridiksi tersebut, Ikbal menyarankan agar PJTKI atau pihak yang memberangkatkan TKI menjadi yang utama dalam menjamin perlindungan. Misalnya, PJTKI harus menjamin bahwa si TKI mendapat pengguna jasa TKI yang menghormati hak-hak pekerja seperti hari libur, upah layak dan jam kerja. “Dengan begitu PJTKI akan bekerja keras mencari pengguna jasa TKI yang serius melindungi TKI,” ucapnya.

Pengawasan
Tak ketinggalan, Lenny juga menekankan pentingnya peran petugas pengawas ketenagakerjaan dalam melindungi TKI. Pasalnya, tugas pengawas ketenagakerjaan adalah mengawasi perusahaan-perusahaan untuk taat terhadap hukum khususnya ketenagakerjaan. Tak terkecuali mengawasi kinerja PJTKI. Dengan pengawasan yang kuat, Lenny yakin keberadaan PJTKI nakal dapat diminimalisir. Ironisnya, petugas pengawasan yang ada di Indonesia jumlahnya sangat minim.

Contohnya, di Bali, terdapat sekitar 6.800 perusahaan, namun jumlah petugas pengawas hanya 6 orang, itu pun empat diantaranya dalam waktu dekat memasuki masa pensiun. Alhasil, berbagai perusahaan yang ada di Bali, terutama PJTKI, luput dari pantauan. Menurut Lenny hal itu juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Untuk itu dalam revisi UU TKI, Lenny merekomendasikan perihal pengawasan dibahas secara khusus, bisa saja dimasukan dalam Bab khusus di UU TKI. Tapi yang jelas, pengawasan itu harus dilakukan secara komprehensif. “Mulai dari masa prapenempatan, penempatan dan pemulangan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait