Kemenkeu Finalisasi Aturan Terkait Insentif PPnBM
Berita

Kemenkeu Finalisasi Aturan Terkait Insentif PPnBM

Relaksasi PPnBM diharapkan bisa mendorong konsumsi masyarakat, khususnya kelas menegah yang selama 2020 lalu konsumsinya banyak tertahan karena mobilitasnya terbatas.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif di tengah kondisi pandemi covid-19, pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif tambahan berupa diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah melakukan finalisasi terhadap aturan diskon PPnBM dan berharap relaksasi tersebut bisa segera dimanfaatkan oleh masyarakat.

"Kita berharap masyarakat tentu merespon. Saya tahu ini diharapkan akan meningkatkan kembali permintaan kendaraan bermotor dan dorong industri otomotif di Indonesia yang supply chain-nya cukup penting dalam perekonomian kita," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (23/2).

Menteri Keuangan nantinya akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait diskon pajak tersebut dan ditargetkan akan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2021. Kebijakan diskon pajak itu nantinya menggunakan PPnBM yang ditanggung pemerintah. (Baca: Memprediksi Keefektifan Relaksasi Harga Mobil dan Properti Pulihkan Ekonomi)

Adapun skema pemberian diskon adalah, diskon PPnBM sebesar 100 persen dari tarif normal akan diberikan pada tiga bulan pertama, kemudian 50 persen dari tarif normal pada tiga bulan berikutnya, dan 25 persen dari tarif normal pada tahap ketiga untuk empat bulan. Besaran diskon pajak akan dievaluasi efektifitasnya setiap tiga bulan.

Diskon pajak tersebut diberikan untuk kendaraan bermotor segmen kurang atau sama dengan 1.500 cc kategori sedan dan 4x2. Segmen tersebut dipilih karena merupakan segmen yang diminati kelompok masyarakat kelas menengah dan memiliki local purchase di atas 70 persen.

"Untuk PPnBM yang kendaraan bermotor itu kita akan segera dikeluarkan. Sekarang dalam proses finalisasi dan itu berarti harmonisasi, dan kemudian kita akan keluarkan," ujar Sri Mulyani.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio N Kacaribu menambahkan, relaksasi PPnBM diharapkan bisa mendorong konsumsi masyarakat, khususnya kelas menegah yang selama 2020 lalu konsumsinya banyak tertahan karena mobilitasnya terbatas. 

"Masyarakat kelas menengah ini banyak mengkonsumsi kebutuhan dasar saja, sementara untuk desil 1 sampai 5 itu sudah menjadi target Program PEN terutama perlinsos di mana mereka terbantu dan bahkan ditunjukkan oleh angka kemiskinan kita menjadi sangat tertolong sehingga angka kemiskinan tidak terlalu dalam," ujar Febrio.

Insentif PPnBM, lanjut Febrio, diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat mulai kuartal pertama tahun ini. Febrio menuturkan hal tersebut yang menjadi alasan pemerintah memberlakukan insentif tersebut mulai Maret 2021 agar masyarakat bisa langsung memanfaatkannya.

"Dan itu langsung mendorong juga penyaluran kredit dari perbankan sehingga harapannya multiplier effect-nya lansung kita rasakan dan salah satu yang penting juga adalah local purchase kita tetapkan sebesar minimal 70 persen sehingga ini adalah produk dalam negeri dan multiplier effect bagi penciptaan lapangan kerja dalam negeri dan juga penciptaan GDP itu juga ananti cukup besar," kata Febrio.

Sementara itu pengamat pajak Fajry Akbar, pemberian insentif ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyokong industri terdampak agar dapat survive. “Mengapa? Karena banyak orang bergantung pekerjaannya dari industri otomotif,” katanya kepada Hukumonline, Senin (15/2).

Fajry juga mengingatkan bahwa industri otomotif merupakan industri yang unik dan berbeda dengan industri lainnya. Di industri otomotif, banyak pungutan tambahan diluar pajak-pajak umum seperti PPh dan lainnya, yakni PPnBM, pajak kendaraan bermotor, dan BBnKB. Selama ini, lanjutnya, insentif yang diberikan pemerintah masih dilakukan secara umum. Hal tersebut dinilai tidak cukup adil bagi industri otomotif yang dikenakan banyak pungutan.

“Tentunya tidak adil bagi industri yang dikenakan banyak pungutan, seperti industri otomotif. Karena itu, perlu pemberian insentif tambahan. Selain karena asas keadilan, juga demi efektivitas, agar insentif yang diberikan sebelumnya tidak sia-sia,” tambahnya.

Kebijakan ini pun dinilai akan memberikan dampak yang cukup besar, mengingat kendaraan jenis LMVP dan sedan adalah jenis kendaraan yang paling banyak terjual di Indonesia, dan sudah menggunakan 70 persen komponen lokal.

“Nah penurunan ini akan berdampak pada jenis kendaraan tertentu, kami melihat yang paling banyak mendapat benefit adalah kelas LMPV dan sedan yang sudah 70% komponen lokalnya. Kita tahu sendiri, mobil yang paling banyak terjual di Indonesia adalah kelas LMPV. Jadi impact-nya harusnya besar ya,” imbuhnya.

Di sisi lain, nominal dari tarif memang dianggap kurang “nendang”, karena LMPV hanya mendapatkan insentif tarif sebesar 10%. Dia berpendapat bahwa kewenangan pemerintah pusat sudah “mentok”, artinya pungutan lainnya adalah kewenangan pemerintah daerah. Namun kebijakan ini disebut menjadi win-win solution bagi semua pihak.

“Di sisi lain, dampak ke mobil bekas juga akan lebih terbatas. Saya kira, kebijakan yang telah diambil merupakan win-win solution, dan memang yang diharapkan pemerintah memberikan insentif kepada industri otomotif, dan menarik minat masyarakat untuk membeli,” terangnya.

 

Tags:

Berita Terkait