Kemenag Tetapkan Biaya Visa Progresif Rp7,5 Juta bagi Jemaah Haji Mengulang
Berita

Kemenag Tetapkan Biaya Visa Progresif Rp7,5 Juta bagi Jemaah Haji Mengulang

Jemaah haji dan tim pemandu haji daerah (TPHD) mengulang dikenakan biaya visa sekitar Rp 7,5 juta atau SAR 2.000.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Proses ibadah haji saat ini memasuki fase pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang sudah dibuka sejak 19 Maret 2019. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan mulai tahun ini Pemerintah Saudi memberlakukan kebijakan baru berupa visa progresif bagi jemaah dan petugas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) yang teridentifikasi sudah pernah berhaji.

 

Menanggapi kebijakan pemerintah Saudi tersebut, Kemenag telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor  140 Tahun 2019 tentang Pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1440H/2019M dan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2019 tentang Pembayaran Visa Bagi Jemaah Haji dan TPHD Tahun 1440H/2019M.

 

“Bagi jemaah haji dan TPHD yang sudah pernah berhaji akan dikenakan biaya visa sebesar SAR 2,000 atau setara Rp7.573.340,00 dengan kurs SAR 1 senilai Rp3.786,67,” kata Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Kemenag Muhajirin Yanis, di Jakarta, Minggu (24/03) seperti dikutip dari Antara.

 

Muhajirin menjelaskan kurs tersebutberdasarkan asumsi pada saat pengesahan BPIH antara DPR dan Pemerintah bulan Februari lalu. Adapun pembayaran visa progresif dilakukan bersamaan dengan pelunasan BPIH. Sehingga, selain harus membayar selisih BPIH, jemaah dan TPHD yang sudah pernah berhaji juga harus membayar biaya visa.

 

“Pembayaran visa dilakukan bersamaan dengan pelunasan BPIH ke rekening Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH berdasarkan data Siskohat,” terang Muhajirin.

 

Bisa Dikembalikan

Menurut Muhajirin, jemaah dan TPHD yang dikenai visa progresif didasarkan pada data e-Hajj yang dikeluarkan oleh Arab Saudi. Namun demikian, sebagai data awal, Kemenag akan mengidentifikasi awal melalui Siskohat. Data siskohat ini juga yang akan menjadi basis awal pengenaan biaya visa progresif yang harus dibayarkan saat pelunasan.

 

“Ada kemungkinan, jemaah dalam data siskohat belum berhaji, namun di data e-Hajj sudah pernah sehingga harus membayar visa progresif. Jika ada yang seperti itu, maka jemaah akan diminta membayarnya setelah visanya keluar. Jika tidak, visanya dibatalkan,” tutur Muhajirin.

 

Sebaliknya,  bila dalam data Siskohat dinyatakan berstatus haji dan membayar biaya visa, namun ternyata oleh Saudi tidak wajib membayar, maka biaya visa yang telah dibayarkan akan dikembalikan lagi. Proses pengembaliannya melalui usulan Direkorat Jenderal PHU kepada BPKH.

 

“Batas waktu membayar visa bagi jemaah atau TPHD tersebut paling lambat 7 hari setelah pemberitahuan dari Kanwil Kemenag Provinsi. Bila melewati batas waktu tersebut maka visa haji dianggap batal dan jemaah tidak dapat berangkat pada tahun berjalan,” tegas Muhajirin.

 

(Baca Juga: Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Per Embarkasi Sesuai Keppres Terbaru)

 

Bagaimana dengan jemaah yang batal berangkat dan sudah membayar visa? Muhajirin menegaskan bahwa biaya visanya tidak dapat dikembalikan. Yang dapat dikembalikan kepada jemaah hanyalah BPIH yang telah dibayarkan saat setoran awal dan setoran lunas.

 

“Adapun bagi jemaah yang menunda keberangkatan dan termasuk yang membayar visa, maka biaya visa untuk keberangkatan berikutnya dilakukan sesuai ketentuan Arab Saudi,” tandas Muhajirin seraya menambahkan, pelunasan BPIH 1440H/2019M tahap I akan berlangsung hingga 15 April mendatang.

 

Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan belajar dari pengalaman pemberlakuan UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Kemenag masih terkendala ketiadaan aturan hukum dalam bentuk UU. Pembatasan pendaftaran haji bagi jemaah mengulang merupakan salah satu persoalan tersebut.

 

Sehingga, dia mendukung agar UU mengenai haji dapat segera diselesaikan pembahasannya. Selain persoalan pembatasan pendaftaran haji, aturan terkait prioritas kuota jemaah haji lanjut usia, pelimpahan nomor porsi jemaah haji meninggal dunia atau sakit permanen juga perlu diatur dalam UU tersebut.

 

"Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan Umrah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Oleh karena itu, secara umum pemerintah menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap RUU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang telah diinisiasi oleh DPR RI, " kata Lukman dalam penandatanganan naskah bersama perwakilan pemerintah dan Anggota Komisi VIII DPR RI tentang Rancangan Undang Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah seperti dikutip dari situs Jaringan Pemberitaan Pemerintah (jpp.go.id), Senin (25/3).

 

Tags:

Berita Terkait