Kembalikan Muruah Lembaga Anti Rasuah, Koalisi Masyarakat Dorong Revisi UU KPK
Utama

Kembalikan Muruah Lembaga Anti Rasuah, Koalisi Masyarakat Dorong Revisi UU KPK

Revisi UU KPK diperlukan untuk memperkuat lembaga anti rasuah itu agar bertaji memberantas korupsi seperti masa sebelumnya. Kekhawatiran kalangan masyarakat sipil sejak terbit UU No.19/2019 terbukti melemahkan kinerja KPK memberantas korupsi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Peneliti ICW, Dicky Anandya dan Peneliti PSHK, Muhammad Nur Ramadhan dalam diskusi bertema Laporan Evaluasi Kinerja KPK Periode 2019-2024, Jumat (6/9/2024). Foto: ADY
Peneliti ICW, Dicky Anandya dan Peneliti PSHK, Muhammad Nur Ramadhan dalam diskusi bertema Laporan Evaluasi Kinerja KPK Periode 2019-2024, Jumat (6/9/2024). Foto: ADY

Kekhawatiran kalangan masyarakat sipil terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara struktural dan sistematis akhirnya menjadi kenyataan. Hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukan sejumlah indikatornya.

Peneliti PSHK, Muhammad Nur Ramadhan menyebut dampak terbitnya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No.30 Tahun 2002 menimbulkan sejumlah persoalan antara lain kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Penuntutan. Kewenangan itu membuat masyarakat sipil khawatir KPK berpeluang menghentikan perkara yang tak kunjung diselesaikan.

Terbukti, 1 April 2021 KPK pertama kali menerbitkan SP3 untuk menghentikan penyidikan terhadap tersangka perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SP3 juga diterbitkan KPK setidaknya untuk 8 perkara korupsi lainnya. Penggunaan kewenangan SP3 ini menimbulkan perdebatan soal efektivitas dan independensi KPK dalam menuntaskan kasus korupsi.

“Sejak awal kalangan masyarakat sipil sudah mengkritik keras kewenangan KPK menerbitkan SP3 karena bisa menghentikan perkara sebelum masuk pengadilan,” kata Ramadhan dalam diskusi bertema Laporan Evaluasi Kinerja KPK Periode 2019-2024, Jumat (06/09/2024).

Baca juga:

Menurutnya, UU 19/2019 menempatkan pimpinan KPK bukan sebagai penyidik dan penuntut umum. Terbukti dalam kasus yang melibatkan mantan hakim agung Gazalba Saleh, di mana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menerbitkan putusan sela yang mengabulkan eksepsi atau nota keberatan yang diajukan hakim agung itu.

Alasan dikabulkannya putusan sela karena jaksa KPK tidak memiliki kewenangan untuk menuntut Gazalba. Sebab jaksa tidak menerima pelimpahan kewenangan penuntutan secara sah atas perkara tersebut. Masalah lainnya posisi dan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK tidak jelas.

Ramadhan tidak menemukan UU 19/2019 mengatur tentang kewenangan Dewas, yang ada hanya tugas. Akibat kewenangan yang tidak jelas, Dewas seolah tak punya taji dalam melakukan pengawasan. Ada potensi Dewas bergesekan dengan kewenangan yang dimiliki Inspektorat KPK sebab objek pengawasannya mirip. Ditambah lagi putusan etik yang diterbitkan Dewas tergolong mengecewakan publik karena ada perkara yang seharusnya dijatuhi sanksi berat tapi itu tidak dilakukan Dewas.

“Penegakan etik oleh Dewas KPK tumpul karena kewenangan Dewas juga tidak jelas. Hadirnya Dewas belum masif menjamin tegaknya etik di KPK,” Ramadhan.

Peneliti ICW, Dicky Anandya menyorot soal tata kelola kelembagaan KPK antara lain birokrasi semakin gemuk dan loyalitas ganda penyelidik dan penyidik. Peraturan KPK No.7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK menambah kedeputian KPK dari 4 menjadi 5. Yakni Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Pencegahan dan Monitoring, Pendidikan dan Eksekusi, Koordinasi dan Supervisi, Informasi dan Data.

Peraturan KPK 7/2020 itu bermasalah karena tak sejalan dengan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2002. Persoalan loyalitas ganda pegawai KPK kerap muncul setiap tahun. Dicky mencatat ini bukan masalah baru, tapi tak pernah diselesaikan serius pimpinan KPK. Padahal Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 19/2019 mengamanatkan KPK dapat merekrut penyidik secara mandiri atau independen.

Kewenangan itu diperkuat putusan MK dalam perkara No.109/PUU-XIII/2015 yang menegaskan KPK tidak harus bergantung pada kepolisian dan kejaksaan, tapi bisa merekrut secara mandiri. “Putusan MK ini menegaskan eksistensi penyelidik dan penyidik independen secara mutlak agar KPK tidak ketergantungan institusi lain,” paparnya.

Pelemahan KPK dan rekomendasi

Prestasi KPK yang sebelumnya mampu mencapai tingkat keberhasilan penuntutan (conviction rate) sampai 100 persen tapi sekarang anjlok. Dicky menjelaskan KPK pernah diapresiasi karena conviction rate 100 persen berarti tidak ada terdakwa kasus korupsi yang lepas dari jerat KPK.

Tercatat sejak 2019 KPK kebobolan terus karena sejumlah perkara diputus bebas majelis hakim di pengadilan. Jumlah tuntutan yang dilakukan jaksa KPK dalam kurun waktu 2018-2023 juga turun drastis. Selain berbagai persoalan itu, Ramdhan berpendapat merosotnya muruah KPK juga disebabkan kinerja pimpinan KPK periode 2019-2024 yang bermasalah.

Misalnya, Firli Bahuri dan Lili Pintauli dijatuhi sanksi etik berat oleh Dewas KPK. Apalagi Polda Metro Jaya telah menetapkan Firli sebagai tersangka karena diduga melakukan pemerasan, menerima suap, dan gratifikasi terhadap Menteri Pertanian kala itu Syahrul Yasin Limpo.

Persoalan etik ini merembet ke jajaran pegawai KPK mulai dari kasus menggelapkan uang perjalanan dinas, mencuri barang bukti, dan pemerasan terhadap tahanan di Rutan KPK. Pelemahan KPK secara terjadi secara terstruktur dan sistematis ini menurut Nur harus dihentikan untuk mengembalikan muruah lembaga anti rasuah itu seperti masa sebelumnya. Nur merekomendasikan sedikitnya 4 hal.

Pertama, UU 19/2019 perlu direvisi dengan substansi yang memperkuat KPK, bukan melemahkan. Kedua, tata kelola kelembagaan mendesak untuk segera dilakukan. Jika pembenahan kelembagaan itu tidak bisa dilakukan komisioner KPK saat ini maka dilakukan pada kepemimpinan berikutnya.

Ketiga, berdasarkan kesimpulan tim penulis, Dicky menyebut penegakan hukum yang dilakukan KPK mutlak dilakukan perbaikan secara mendasar. Sebab kualitas dan kuantitas penanganan perkara yang dilakukan KPK dalam 5 tahun terakhir menurun drastis. Keempat, pencegahan korupsi tak bisa dikerjakan KPK sendirian, butuh komitmen tinggi lembaga negara lainnya.

Tags:

Berita Terkait