Kembali Mempersoalkan Peran Negara dalam UU BUMN
Utama

Kembali Mempersoalkan Peran Negara dalam UU BUMN

Pemohon merasa peran BUMN, yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah, untuk meningkatkan perekonomian nasional masih jauh dari harapan.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES

Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken) melayangkan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 4 ayat (4) UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait tujuan pendirian dan perubahan modal negara di BUMN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan Taken yang dikuasakan atas nama Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro ini telah resmi didaftarkan pada Rabu (7/2/2018) kemarin.  

 

“Pasal 2 ayat (1) a, b tersebut belum mampu mendorong BUMN menjadi perusahaan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi nasional,” ujar Anggota Taken, Liona Nanang Supriatna saat dihubungi Hukumonline, Jum’at (9/2/2018).

 

Selengkapnya, Pasal  2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN berbunyi “Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan;....”

 

Pasal 4 ayat (4) berbunyi “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

 

Menurut Liona, meski kedua pasal tersebut tidak terlihat menyimpang, tetapi ternyata penerapannya tidak sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (2), (3) UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan kedaulatan sumber daya yang seharusnya dikuasai negara. “UU BUMN itu sudah tercabut dari akar pondasi hukum kita, UUD 1945. Kalau UUD 1945 itu kan menyatakan kita itu menganut ekonomi koperasi, gotong royong, bukan kapitalis seperti ini. Murni, UU (BUMN) itu kapitalis. Jadi sangat bertentangan dengan jiwa pembangunan Indonesia,” kata Liona. 

 

Merujuk materi permohonan, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN apabila diartikan motivasi pendirian BUMN hanya mengejar penerimaan negara dan keuntungan ketimbang motivasi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

Anggota Taken lain, Hermawi Taslim menilai Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tidak sesuai atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Apabila diartikan penyertaan modal negara berupa penambahan, pengurangan termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero dilakukan tanpa persetujuan/pengawasan DPR dan tidak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

“Pasal tersebut terindikasi menghilangkan peran DPR yang seharusnya mengawasi keuangan negara menjadi hilang karena sudah dialihkan pengaturannya hanya dalam bentuk PP,” ujar Hermawi dalam keterangan persnya. Baca Juga: Inilah yang Mengkhawatirkan dari PP Penyertaan Modal BUMN

 

Dia menjelaskan kasus penjualan atau privatisasi Telkomsel dan Indosat merupakan salah satu contoh lemahnya pengawasan DPR terhadap BUMN. “Kalau Telkomsel dan Indosat dianggap sebagai yang menguasai hidup orang banyak, seharusnya Telkomsel dan Indosat dikuasai oleh negara,” kata Hermawi.

 

Seperti diketahui, pemerintah pernah menjual dengan melepas saham atau divestasi PT Telkomsel dan PT Indosat ke perusahaan investasi raksasa asal Singapura, Temasek Holding Group Ltd beberapa tahun lalu. Saat itu, Indosat melepas sahamnya ke Singapore Technologies Telemedia (STT), perusahaan teknologi yang 100 persen kepemilikan sahamnya dipegang Temasek. Sedangkan Telkomsel juga melepas sahamnya sebesar 35 persen ke Singapore Telecommunication (Singtel) yang merupakan anak usaha Temasek dengan kepemilikan saham 100 persen. Baca Juga: Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia

 

Karena itu, dalam petitum permohonan ini, Pemohon meminta agar Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali (atau sepanjang tidak) dimaknai bahwa pendirian/penguasaan BUMN atau perseroan untuk membangun perekonomian nasional sebagai usaha bersama, selain memberi pemasukan bagi negara juga untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat/orang banyak.  

 

Selain itu, Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan kepemilikan struktur negara atas saham Persero atau Perseroan Terbatas, ditetapkan dengan undang-undang.” 

 

Hukumonline telah mencoba menghubungi sejumlah deputi Kementerian BUMN pada Sabtu (10/2/2018). Namun, hingga saat berita ini diturunkan belum ada seorang pun pihak Kementerian BUMN yang mau memberi komentar.

 

Sebagai informasi, pada 2016 lalu, aturan BUMN melalui terbitnya PP No. 72 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan atas PP No.44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas dikritik berbagai kalangan termasuk mantan Ketua MK, Machfud MD. Ia menilai ada dua hal yang dilanggar aturan tersebut.

 

Pertama, PP itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU BUMN yang menyebutkan APBN merupakan salah satu sumber dari PMN (penyertaan modal negara). Sebab, Pasal 2A ayat (1) PP No. 72 Tahun 2016 berbunyi “Penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN.” Kedua, Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara, disebut “Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah seperti diatur ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.” Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, Kahmi Uji Materi PP Holding BUMN

Tags:

Berita Terkait