Kemandirian Terganggu, KPU Gugat UU Pilkada
Berita

Kemandirian Terganggu, KPU Gugat UU Pilkada

Majelis menyarankan frasa konsultasi melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat saja yang seharusnya dibatalkan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Merasa kemandiriannya terganggu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro akhirnya mempersoalkan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Beleid ini mengatur konsultasi atau rapat dengar pendapat KPU dengan DPR dan Pemerintah saat menyusun Peraturan KPU dan pedoman teknis terkait penyelenggaraan pilkada. Padahal, konstitusi telah menetapkan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri.   
“Pasal 9 huruf a UU Pilkada itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebut ‘Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum  yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri’,” ujar Komisioner KPU Ida Budhiati dalam sidang pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/10). Ida didampangi Komisioner KPU lainnya, Hadar Nafis Gumay dan beberapa pegawai kesekjenan KPU.
Selengkapnya, Pasal 9 huruf a UU Pilkada menyebutkan “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi : a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.”     
Dia melanjutkan kemandirian KPU dalam menetapkan pengaturan Pemilu yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu termasuk pilkada. Bagi KPU Pasal 9 huruf a UU Pilkada ini memperlihatkan adanya keterlibatan DPR yang begitu sentral dan menentukan kewenangan KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan. “Ketentuan ini berpotensi mengganggu dan mengancam kemandirian Pemohon,” kata Ida.  
Bagi KPU, keterlibatan DPR dan Pemerintah dalam penyusunan Peraturan KPU sangat bertentangan dengan agenda reformasi terbentuknya lembaga penyelenggara Pemilu yang mandiri. “Seharusnya lembaga penyelenggara Pemilu tidak boleh tunduk arahan lembaga lain yang notabene berisi pihak partai politik.”
Menurutnya, KPU sebagai lembaga independen/mandiri (constitutional important) yang diberi wewenang membuat aturan internal seharusnya diperlakukan sama seperti lembaga independen lainnya. Misalnya, Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia. Karena itu, Pemohon berharap Pasal 9 huruf a UU Pilkada dihapus karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
“Menyatakan Pasal 9 huruf a UU Pilkada  bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat,” pintanya dalam petitum permohonannya.
Dia menambahkan keterlibatan DPR dalam konsultasi melalui forum dengar pendapat dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan KPU bersifat wajib. Hal ini berakibat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengganggu kemandirian/independensi tugas dan fungsi KPU. “Pengalaman KPU berkonsultasi dengan DPR dalam proses penyusunan KPU, mengancam kemandirian KPU,” tegasnya.
Seperti, saat KPU menyusun Peraturan KPU terkait pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berkonsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah. “Kita pernah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah terkait syarat calon tidak pernah sebagai terpidana.”
Alhasil, kata dia, dalam Peraturan KPU dinyatakan setiap terpidana yang tidak menjalani hukum penjara boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang keputusan ini bersifat mengikat yang harus ditindaklanjuti melalui Peraturan KPU. “Jika tidak dilakukan, kita dianggap melanggar UU,” tambahnya.
Menanggapi permohonan, Anwar Usman menyarankan agar petitum permohonan dipisah antara pertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ini sebaiknya harus dipisah,” kata Anwar.
Meski begitu, dia tak sependapat apabila Pasal 9 huruf a UU Pilkada dihapus. Sebab, KPU memang diwajibkan bertugas menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis terkait tahapan penyelenggaraan pilkada. “Kenapa inkonstitusional semuanya? Ini seharusnya bisa dipilah, frasa mana yang seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Kan yang bermasalah harus berkonsultasi melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Coba petitumnya disusun ulang biar pas,” sarannya.  
Anggota Majelis Panel Aswanto menyarankan agar semua Komisioner KPU menjadi pemohon dalam permohonan ini. “Jadi, tidak hanya Ketua KPU saja, tetapi semua Komisioner KPU, kan keputusan KPU bersifat kolektif kolegial. Ini saja Ketua KPU-nya tidak hadir. Ini agar bisa bahan perbaikan,” kata Aswanto.    
    


Tags:

Berita Terkait