Kemampuan Hakim Pengadilan Agama Masih Dipertanyakan
Berita

Kemampuan Hakim Pengadilan Agama Masih Dipertanyakan

“Sebenarnya perkara ekonomi syariah tak sesulit yang dibayangkan karena intinya terletak pada akad bagaimana mereka memperjanjikan”.

Ash
Bacaan 2 Menit
Kemampuan Hakim Pengadilan Agama Masih Dipertanyakan
Hukumonline

Empat tahun sudah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama (UUPA) berlaku. Dalam Undang-Undang ini Pengadilan Agama diberi kewenangan tambahan memutus perkara ekonomi syariah. Bagaimana kesiapan dan kemampuan hakim-hakim agama menangani perkara ekonomi syariah selama empat tahun ini?

 

Suara yang menilai kemampuan para hakim agama masih terbatas muncul dalam seminar “Penguatan Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Guna Mendukung Pertumbuhan Industri Keuangan Syariah,” d Jakarta, Kamis (10/6) pekan lalu. Ketebatasan kemampuan itu terutama dibandingkan penguasaan para hakim dalam bidang  perkawinan, waris, hibah, wakaf yang selama mereka tangani.

 

Penilaian antara lain datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran Bandung, Eman Suparman. Menurut Prof. Eman,  para hakim agama harus terus meng-up date wawasan mereka tentang perekonomian Islam sesuai regulasi yang berlaku Indonesia dan fiqh Islam. Selain itu para hakim agama juga mesti mengetahui produk layanan, mekanisme perbankan, reksadana, obligasi, sekuritas, pegadaian syariah. “Hakim prinsipnya orang yang dianggap serba tahu hukum, berbeda dengan arbiter yang biasa ahli di bidangnya,” ujar Eman.

 

Menurut Eman kesangsian serupa pernah dia lontarkan kepada beberapa Ketua Pengadilan Agama di daerah. “Saya pernah mempertanyakan kepada Ketua Pengadilan Agama di kabupaten/kota, apakah hakim Bapak siap untuk menerima, membaca, memutus sengketa yang basis ini (ekonomi syariah, --red),” ujar Eman bertanya. “Dalam kesempatan lain Tuada Pengadilan Agama mengaku hakim agama sering diikutsertakan kursus singkat.”      

 

Senada dengan Eman, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Yarsi, Hermayulis menyatakan tantangan yang dihadapi Pengadilan Agama saat ini adalah kemampuan sumber daya manusia. “Bukan bermaksud mengecilkan kemampuan dari hakim-hakim agama, tetapi tantangan ke depan akan semakin berat. Terutama semakin banyaknya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bisnis syariah”.

 

Para hakim perlu menyadari bahwa masih banyak praktik bisnis syariah yang belum diatur dalam peraturan. “Di sini hakim agama mesti dituntut menghasilkan putusan yang berkualitas,” kata Hermayulis.

 

Meski mengakui bahwa MA telah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan khusus kepada hakim agama, Hermayulis berpendapat, tidak semua hakim agama menikmati pelatihan itu terutama dari hakim dari daerah. “Kalau di Jakarta dan sekitarnya kasus-kasus syariah memang banyak, tetapi kalau di daerah-daerah yang kasusnya sedikit ketika hakim agama menangani kasus bisnis syariah agak kewalahan,” ungkapnya. 

 

Ia menceritakan saat melakukan riset terungkap ada seseorang hakim tinggi agama lulusan IAIN mengaku tak pernah mengikuti pelatihan bisnis syariah. “Meski ada dalam daftar pelatihan, tetapi hakim ini tak pernah diikutsertakan pelatihan. Akhirnya dia belajar sendiri, ini sesuatu hal yang menyedihkan,” keluhnya. “Ini jadi hambatan,” lanjut Hermayulis   

 

Sudah memadai

Hakim Agung Rifyal Ka’bah menepis keraguan sejumlah pihak. Menurut Rifyal, kemampuan hakim agama dan SDM untuk memutus perkara ekonomi syariah sudah memadai. “Sekarang ada beberapa hakim pengadilan agama sedang mengambil S-2 Hukum Ekonomi. Bahkan sudah ada yang mengambil doktor,” ujar Rifyal.

 

Terbukti, sudah ada belasan perkara ekonomi syariah yang masuk ke pengadilan agama tetap bisa diselesaikan dengan baik hingga sampai upaya hukum kasasi. Kalaupun jumlah perkara ekonomi syariah yang masuk pengadilan minim, itu bukan karena ketidakmampuan hakim menyelesaikan kasus. “Kenapa perkara tak banyak? Itu karena tergantung akad/kontraknya yang biasanya penyelesaian sengketa ditentukan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Jika kasus ini diajukan ke Pengadilan Agama, biasanya akan ditolak,” ujar pria yang juga hakim agung itu menjelaskan. “Jadi sengketa mau dibawa kemana tergantung para pihak.”   

 

Dijelaskan Rifyal, MA sudah sering melakukan penataran atau pelatihan untuk hakim agama tentang ekonomi syariah. “Mata kuliahnya cukup banyak termasuk 11 item yang disebut dalam UU PA. Itu diadakan di Jakarta dan daerah-daerah. Jadi SDM yang ada sudah memadai dan tak kurang untuk menyelesaikan sengketa yang ada,” ujarnya optimis.  

 

Menurut Rifyal sebenarnya perkara ekonomi syariah tak sesulit yang dibayangkan karena intinya terletak pada akad bagaimana mereka memperjanjikan. ”Jadi hakim melihat akadnya, kalau bagi hasil sekian ya sekian, kalau akadnya ada unsur riba tentunya akadnya dinyatakan batal atau tak sah,” pungkasnya.

Tags: