Kemajuan E-Commerce Belum Ramah Terhadap Konsumen Difabel
Terbaru

Kemajuan E-Commerce Belum Ramah Terhadap Konsumen Difabel

Padahal konsumen difabel berpotensi menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kemajuan teknologi informasi digital telah mengubah perilaku manusia tanpa terkecuali masyarakat disabilitas. Meski teknologi telah maju, nyatanya konsumen disabiltas masih menemui keterhambatan dalam kegiatan berbelanja secara online.

Menurut Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia (SIGAB), M. Joni Yulianto, adanya kemudahan tersebut juga memunculkan potensi terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak konsumen disabilitas.

Joni mengatakan ada hak-hak disabilitas yang belum dipahami oleh konsumen difabel. Untuk melihat kendala apa saja yang dihadapi oleh konsumen difabel, SIGAB melakukan survei kepada konsumen difabel. Hasil survei ini digunakan sebagai dasar kebijakan inklusi yang menjamin hak-hak konsumen difabel.

“Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari das review yang sudah dilakukan terkait dengan perlindungan konsumen difabel. Dalam survei, ditemukan sejumlah temuan yang menyebutkan konsumen kelompok rentan dan beberapa kebutuhan khusus bagi konsumen difabel masih lemah,” katanya dalam sebuah diskusi daring.

Das review ini kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan riset yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Menurut WHO jumlah difabel di dunia mencapai 15%-20%. Meski di Indonesia masyarakat difabel tidak mencapai 15%, namun hal ini bukan tidak mungkin luput dari perhatian pemerintah, khususnya untuk masyarakat rentan yaitu masyarakat disabilitas. (Baca: Alami Kerugian Saat Parkir Kendaraan, Ini yang Bisa Dilakukan Konsumen)

Dikatakan Joni, kebutuhan pemenuhan akan barang dan jasa menjadi kebutuhan semua orang tanpa terkecuali konsumen difabel. Terlebih dalam situasi pandemi saat ini yang memungkinkan seseorang untuk tetap di rumah menjadikan kegiatan sehari-hari, seperti berbelanja hanya bisa dilakukan melalui e-commerce.

Hasil survei SIGAB menyatakan bahwa frekuensi penggunaan e-commerce bagi konsumen difabel mencapai 50% setiap minggunya. “Ini menunjukkan bahwa sebenarnya sangat potensial bagi konsumen difabel menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce,” ujarnya.

Dari hasil survei ditemukan sebagian besar konsumen difabel yang mengalami kendala yaitu tombol navigasi yang diberikan oleh e-commerce yang tidak terbaca oleh pembaca layar. Masih rendahnya akan hak-hak konsumen menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran hak konsumen disabilitas, termasuk pelanggaran ketika mengakses layanan transaksi e-commerce.

“Hasil survei ini juga menyatakan kesadaran konsumen yang dimiliki penyandang disabilitas cenderung menyalahkan diri sendiri ketika mendapatkan masalah dalam akses layanan e-commerce. Hal-hal ini yang harus menjadi perhatian bahwa untuk mendapatkan barang dan jasa yang berkualitas serta pelayanan yang terpadu merupakan hak konsumen difabel,” tambahnya.

Kenyamanan dalam melakukan transaksi jual-beli ini telah diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Menurut Joni, regulasi yang telah ada ini ternyata belum secara rinci mengatur secara spesifik perlindungan konsumen difabel dalam konteks aksesibilitas yang layak bagi konsumen difabel.  

Dari temuan dan survey tersebut, SIGAB berkesimpulan perlu tindak lanjut bersama terkait edukasi bagi konsumen difabel. perlunya kebijakan untuk memastikan aksesibilitas sebagai pertimbangan penting dalam pengembangan e-commerce serta perlunya sosialisasi dan kepedulian yang perlu dikembangkan kepada platform e-commerce.

Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan konsumen selama lima tahun terakhir terkait pengaduan terhadap layanan e-commerce. Hal ini membuktikan konsumen difabel memiliki kesadaran yang cukup tinggi mengenai haknya sebagai konsumen rentan.

Menurut ketua YLKI, Tulus Abadi, sebagian besar konsumen di era ekonomi digital begitu cermat memahami pengetahuan tentang produk dan produsen. Padahal hal tersebut sangat berpengaruh pada kerentanan konsumen secara umum dan tak jarang melayangkan aduan. Pada 2020, YLKI mencatat ada 11, 7% pengaduan di sektor e-Commerce, dengan jenis aduan barang pesanan tidak diterima 28,2% dan barang pesanan tidak sesuai 15,3%.

“Dari sisi kebijakan, juga masih belum kuat, adapun UU PK yang tahun 1999 itu sudah sangat jadul dan belum memikirkan ekonomi digital,” katanya.

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan (Kemendag), Nina Mora, turut menyoroti hal ini. Pada prakteknya, kata Nina, pelaku usaha digital telah berupaya dalam memaksimalkan platform e-commerce untuk ramah terhadap konsumen difabel.

“Platform e-commerce kini sudah menyediakan fitur yang user friendly khususnya terhadap konsumen difabel, seperti fitur voice over. Upaya ini sekiranya perlu dicontoh oleh platform e-commerce seluruh Indonesia agar memudahkan konsumen difabel,” ungkapnya.

Nina melanjutkan, bahwa Kementerian Perdagangan telah memberikan pelatihan dan pendampingan kepada pelaku UMKM, khususnya UMKM penyandang disabilitas untuk meningkatkan daya saing dan memberikan ruang usaha bagi disabilitas.

Ia menghimbau platform e-commerce untuk mengembangkan fasilitas dan fitur, mengingat selama ini platform e-commerce memberikan kemudahan aktivitas perdagangan bagi penyandang disabilitas.

Tags:

Berita Terkait