Kelas Internasional FHUI Dikritik Para Calon Dekan
Rechtschool

Kelas Internasional FHUI Dikritik Para Calon Dekan

Salah satu kandidat dekan menyebut KKI sebagai dosa bersama.

HRS
Bacaan 2 Menit
Kelas Internasional FHUI Dikritik Para Calon Dekan
Hukumonline

Uji publik terhadap enam kandidat Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) periode 2013-2017 pada Senin lalu (28/10) berlangsung cukup menarik. Berbagai pertanyaan dilontarkan para ‘warga kampus’ untuk melihat kemana arah FHUI yang ingin dibawa para kandidat.

Salah satunya diajukan oleh Majelis Wali Amanat dari unsur mahasiswa Alldo Fellix Jia yang mengemukakan kekacauan dari sistem Kelas Khusus Internasional (KKI) FHUI.

Alldo menganggap FHUI telah melanggar janjinya yakni memberi kesempatan kepada mahasiswa KKI untuk kuliah di luar negeri selama 2-4 semester.

“Kenyataannya, hanya satu atau dua orang dengan IPK tinggi yang mendapatkan kuliah 2-4 semester. Itu kan tidak seimbang dengan uang kuliah yang mereka keluarkan,” tutur Alldo.

Kurikulum yang belum jelas juga menjadi sorotan Alldo. Menurutnya, kurikulum KKI FHUI tak jauh beda dengan program reguler. Perbedaannya hanya pada bahasa pengantar perkuliahan, yaitu bahasa Inggris.

Menanggapi pertanyaan ini, salah satu kandidat calon dekan FHUI, Melda Kamil Ariadno mengatakan Kelas Internasional adalah dosa bersama FHUI. “Kalau boleh kita katakan, KKI ini adalah dosa kita bersama,” tutur Melda.

Ia mengakui janji-janji yang ditawarkan kepada para mahasiswa memang belum terealisasi. Pasalnya, ada kesulitan untuk melakukan program belajar ke luar negeri selama 2-4 semester. Lantaran perbedaan sistem pengajaran dan kurikulum, beberapa universitas luar negeri yang lebih bagus dari FHUI tak mau bekerja sama.

Ketika membicarakan persoalan ini ke salah satu universitas di Australia, lanjut Melda, solusi yang didapat adalah dengan program pertukaran pelajar. Namun, program ini menjadi kendala juga karena setiap universitas harus mengirimkan mahasiswanya dalam jumlah yang sama.

Topo Santoso, kandidat Dekan FHUI yang lain, juga berpendapat ada kendala untuk melaksanakan program KKI ini. Universitas yang mau bekerja sama dengan UI baru sebatas universitas yang  peringkatnya di bawah UI. Hal-hal ini tengah diupayakan solusinya. Saat ini, KKI FHUI telah bekerja sama dengan Universitas Utrecht Belanda untuk special class.

Meskipun pada mulanya KKI memang sengaja dirancang sebagai single degree, lanjut Topo, dalam tiga tahun ke depan FHUI akan menjadikan kelas khusus tersebut dengan double degree. “Karena sudah berdiri selama tiga tahun, kami merasa sudah cukup kuat pondasinya untuk mengarah ke double degree,” terang Topo.

Kandidat lain calon Dekan FHUI, Kurnia Toha dengan tegas mengatakan akan berusaha menggaet universitas-universitas luar yang baik untuk bekerja sama dengan FHUI. Ia menuturkan meski universitas sekelas University of Washington, Amerika Serikat, pernah menolak bekerja sama lantaran sistem pengajaran FHUI yang tidak memungkinkan, ia akan berusaha mencari alternatif lain.

“Setidaknya program KKI ini bisa belajar di luar negeri. Kan lucu, kalau program internasional tetapi tidak ada kuliah internasionalnya,” ujarnya.

Tak semua kandidat berkeinginan meneruskan program KKI. Freddy Harris adalah salah satunya. Ia berpendapat program KKI dihapuskan saja. Ia mengaku tak melihat ada manfaat yang konkret dari kelas ini. “Konkritnya, kalau nggak ada manfaatnya, hapus saja,” tegasnya.

Hamid Chalid, calon yang lain, bahkan berpendapat lebih keras. Ia melihat KKI hanya sebagai salah satu cara fakultas dalam mencari pemasukan dana. Menurutnya, mahasiswa KKI seolah-olah dijadikan sapi perah karena gagal masuk FHUI melalui pintu reguler. Untuk itu, diciptakanlah pintu yang lain bernama KKI untuk mengakomodir mahasiswa-mahasiswa ini.

“Mereka merasa menjadi sapi perah. Gagal di pintu lain, masuk ke KKI,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait